Mengenal Makna Dayah Dan Teungku Di Aceh

Penyebaran dan pertumbuhan kebudayaan Islam di Indonesia, salah satunya banyak dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan Dayah di Aceh, Pesantren di Jawa, dan Surau di Minangkabau. Masing-masing lembaga keagamaan ini memiliki sosok yang paling berpengaruh yang mana biasanya disebut Kiyai, Syeikh, Teungku, Romo, dan berbagai istilah lainnya tergantung dimana posisi lembaga tersebut berada.

Lembaga pendidikan khas Aceh yang disebut dayah merupakan sebuah lembaga yang pada awalnya memposisikan dirinya sebagai pusat pendidikan pengkaderan ulama. Kehadirannya sebagai institusi pendidikan Islam di Aceh bisa diperkirakan hampir bersamaan tuanya dengan Islam di nusantara. Kata dayah berasal dari bahasa Arab, yakni zawiyah, yang berarti pojok.

Istilah zawiyah, secara literal bermakna sudut, diyakini oleh masyarakat Aceh pertama kali digunakan sudut Mesjid Madinah ketika Nabi Muhammad Saw. berdakwah pada masa Islam. Pada abad pertengahan, kata zawiyah dipahami sebagai pusat agama dan kehidupan mistik dari penganut tasawuf, kerena itu, hanya didominasi oleh ulama perantau, yang telah dibawa ketengah-tengah masyarakat. Kadang-kadang lembaga dibangun menjadi sekolah agama dan pada saat tertentu zawiyah juga di jadikan sebagai pondok bagi pencari kehidupan spiritual. Sangat mungkin bahwa disebarkan ajaran Islam di Aceh oleh para pendakwah tradisional Arab dab Sufi; di samping itu, nama lain dari dayah adalah rangkang. Perbedaannya, eksistensi dan peran rangkang dalam kancah pembeajaran lebih kecil dibandingkan dengan dayah.

Pada awal terbentuknya masyarakat Islam di Aceh sudah dikenal tiga jenis lembaga pendidikan dasar, yaitu: Rumoh, Meunasah dan Dayah. Selanjutnya gampong-gampong yang telah membentuk masyarakat Islam, jumlahnya semakin bertambah. Maka, tiga atau lebih masyarakat gampong yang berdekatan mulai pula merencanakan untuk mendirikan sebuah mesjid sebagai tempat shalat Jumat, salah satu shalat wajib khusus bagi laki-laki yang menurut ketentuan hukum Islam merupakan shalat (sembahyang yang wajib hukumnya). Mesjid tidak saja sebgai tempat shalat tetapi juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam. Di sekeliling kampus mesjid, arah samping dan belakang didirikan bangunan-bangunan kecil yang dikenal dengan nama rangkang tempat tinggal para pemuda yang sedang belajar di mesjid tersebut (pada waktu sekarang keadaan yang serupa ini hampir tidak dijumpai lagi). Kajian mereka di sini umumnya telah meningkat kepada berbagai masalah hukum Islam (fiqh) secara lebih luas dan mendalam sehingga dapat pula disebutkan, bahwa rangkang merupakan lembaga pendidikan Islam tingkat menengah yang pernah lahir di Aceh.

Dayah pada masa perjuangan (masa kolonial Belanda), setiap daerah (nanggroe) memiliki sekurang-kurangnya mempunyai sebuah dayah, Belanda kemudian merubahnya menjadi landschap yang jumlahnya 129 buah. Dengan demikian jumlah dayah diperkirakan berjumlah 129 buah. Dayah pada masa ini memegang peranan penting dalam pengerahan tenaga pejuang ke medan pertempuran, terutama dalam mengobarkan semangat melalui pembacaan hikayat Perang Sabi di dayah-dayah, rangkang, meunasah dan masjid. Bahkan ada dayah seperti dayah di sekitar Batee Iliek yang langsung menjadi kota pertahanan.

Ulama dayah merupakan suatu komunitas khusus diantara ulama Aceh, mereka adalah alumni dari dayah. Oleh karena itu mereka dianggap lebih terhormat dibandingkan dengan orang yang menuntut ilmu ditempat/lembaga pendidikan lain seperti lulusan madrasah atau sekolah. Orang-orang yang belajar selain dari dayah dan mampu menguasai ilmu agama secara mendalam disebut sebagai “ulama modern” walaupun perbedaannya tidak begitu jelas.

Setiap dayah yang didalamnya terdapat ulama yang secara spesifik diistilahkan dengan Teungku.  Teungku berperan sebagai pusat pertumbuhan dan pengetahuan Islam yang mana dayahnya menjadi tempat komunikasi sosial.

Istilah teungku sendiri yang ditujukan sebagai sosok nomor satu dalam sebuah dayah sudah melekat sejak zaman kerajaan Aceh dimana raja juga berperan penuh dalam memberi dukungan untuk memunuhi pendidikan rakyatnya, adapun beberapa kerajaan itu seperti Kerajaan Peureulak, Tamiang, (Aceh Timur); Samudra Pasei (Aceh Utara), Lingga (Aceh Tengah), Kerajaan Pidie (Aceh Pidie), Kerajaan Lamuri/Aceh (Aceh Besar) dan Kerajaan Daya (Lamno, pantai Barat).

Teungku bukan hanya sebagai pemimpin dayah semata, dalam beberapa kondisi ia juga bisa berperan sebagai penasehat raja, ratu atau sultan. Bahkan  antara teungku dayah sebagai ulama, dan sultan sebagai pemimpin politik saling bersinergi dalam menjalankan pemerintaan, ketika pemimpin politik mengalami krisis mereka (teungku dayah) tampil keruang politik menggantikan peran yang terakhir dalam mempertahankan kerajaan.

Sumber:http://aceh.net