Oleh Bung Syarif*
Kota Layak Anak menjadi kebijakan Nasional sejak 2017. Kebijakan ini ditandai dengan adanya penilaian Kota Layak Anak oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak se-Indonesia. Karena itulah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Aceh terus berupaya melakukan advokasi agar Bupati/Wali Kota se-Aceh mengeluarkan regulasi Kota Layak Anak.
Banda Aceh tentu merespon cepat dengan melahirkan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 2 Tahun 2021 tentang Kota Layak Anak. Qanun ini memberikan panduan Implementasi Kota Layak Anak secara terintegrasi, baik dari segi pemenuhan Infrastruktur Ramah Anak, Penguatan Kelambagaan Forum Ramah Anak, Pembentukan Gugus Tugas Kota Layak Anak (GT KLA), Peningkatan SDM GT KLA, Pelayanan Kesehatan Ramah Anak, Peran Media dan Usaha, Pendanaan dan Sanksi Administratif.
Lembaga Pendidikan, Sekolah, Madrasah, Dayah didorong mengimplementasikan program Ramah Anak, yang selanjutnya dalam tulisan ini saya gunakan diksi SRA.
SRA adalah Satuan Pendidikan formal, non formal dan informal yang mampu memberikan pemenuhan hak dan perlindungan khusus bagi anak, termasuk mekanisme pengaduan untuk penanganan kasus di satuan pendidikan.
Rambu-rambu SRA
Qanun ini memberikan rambu-rambu terkait SRA sebagai berikut:
a. Mempunyai kebijakan yang inklusif, anti terhadap kekerasan, penindasan, penggenncetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan atau intimidasi yang mengatur sesame siswa, tenaga pendidik dan kependidikan termasuk pegawai sekolah lainnya;
b. Membangun mekanisme pengaduan di sekolah (et madrasah, dayah) dan jejaringnya; c. Memiliki program Usaha Kesehatan Sekolah, Madrasah, Dayah (UKS/M/D); d. Mempunyai lingkungan Sekolah yang bersih dan sehat; e. Menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS);
f. Memiliki warung/kantin kejujuran dan Sehat atau aktivitas perdagangan yang serupa; g. Siswa terlibat/dilibatkan dalam pembuatan kebijakan sekolah; h. Menerapkan disiplin positif (Dispo) dan meniadakan penghukuman; dan i. Memiliki prasarana dan sarana yang memenuhi unsur kelayakan, ramah dan inklusif serta mitigasi kebencanaan.
Tentunya parameter ini menjadi acuan dasar sekaligus arah kebijakan dalam pemenuhan saprasnya. Pemerintah Kota Banda Aceh punya tanggung jawab dalam memberikan pemahaman bagi guru terhadap implementasi SRA-nya.
Dalam Aspek Pelayanan Kesehatan Ramah Anak, dilaksanakan di seluruh Pelayanan. Maka dari itu pembentukan kelembagaan pelayanan kesehatan ramah anak, dimana setiap petugas kesehatan telah mendapat pelatihan konvensi hak anak
Di samping itu tersedianya sapras antara lain ruang khusus layakan konseling bagi anak, tersedianya media tentang hak kesehatan anak, memiliki ruang laktasi, melaksanakan inisiasi menyusui dini (untuk pelayanan kesehatan yang melayani persalinan) dan pojok bermain, terpenuhinya sanitasi lingkungan sesuai standar kesehatan.
Kota Layak Anak harus diawali dari Gampong Layak Anak. Dimana Qanun ini memberikan kewajiban agar Pemerintah Gampong memfasilitasi kegiatan untuk pemenuhan hak anak. Di antaranya; fasilitasi perpustakaan gampong, pembangunan taman/ruang bermain, penyediaan kebutuhan kelompok atau group bermain, fasilitasi kreativitas anak sesuai dengan bakat dan minatnya.
Tentu di sini Pak Keuchik harus peka dalam merespon kebutuhan anak sehingga setiap tahunnya dianggarkan even kreativitas anak dalam APBG-nya.
Pemenuhan Hak Anak
Prioritas APBG untuk pemenuhan hak-hak anak mesti dipikirkan dengan sistematis. Tempat ibadah (masjid, meunasah) wajib mendukung program kebijakan Kota Layak Anak (KLA). Media dan usaha juga harus mendukung kebijakan KLA.
Karena itulah menjadi penting bagi pengusaha yang bergerak di bidang diskotik, klub malam, bar, karoke, pub, panti pijat, bidang usaha lainnya yang sejenis dilarang menerima pengunjung anak, karena akan mengganggu tumbuh kembang anak.
Media mempunyai peran dalam implementasi KLA, peran tersebut di antaranya sebagai berikut: a. Ikut berperan aktif dalam sosialisasi dan sekaligus advokasi berbagai hal terkait pemenuhan hak anak; b. Memperhatikan dan memenuhi standar dan norma serta etika yang berlaku dalam masyarakat terhadap pemberitaan yang berkaitan tentang anak;
c. Melindungi anak yang berhadapan dengan hokum dengan tidak mengeksploitasi berita di media cetak dan elektronik; d. Menghindari penanyangan berita dan konten penyiaran yang dapat memunculkan konflik SARA terkait dengan kehidupan anak dalam masyarakat.
Qanun ini memberikan pakem sanksi administratif bagi SRA, dunia usaha, media yang melanggar ketentuan Qanun akan diberikan sanksi berupa teguran lisan, peringatan tertulis, penundaan bantuan untuk pembiayaan dan pencabutan izin. Tentunya berbagai turunan pelaksaan Qanun tersebut harus sudah ditetapkan paling lama 6 bulan sejak diundangkan Qanun ini.
Adapun turunannya atawa derivatif regulatory antara lain; terkait pengembangan KLA, kriteria dunia usaha, pembentukan GT KLA, Rencana Aksi Daerah (RAD) KLA, SRA, Pelayanan Kesehatan Ramah Anak, Rumah Ibadah Ramah Anak, kewajiban prioritas pemenuhan hak anak dalam APBG, Teknis Pelaksanaan Gampong Layak Anak. Kebijakan ini harsu dituangkan dalam Peraturan Walikota yang menjadi turunan Qanun ini.
Akankan Qanun ini berlaku efektif? Sebagai informasi Qanun ini diundangkannya 8 Januari 2021. Semoga Qanun ini dipahami secara utuh oleh semua komponen masyarakat kota, termasuk oleh seluruh Kepala OPD/SKPD yang ada di Banda Aceh.
* Penulis adalah Direktur Aceh Research Institute (ARI), Dosen Legal Drafting FSH UIN Ar-Raniry, Fasilitator (Pro DAI) YaHijau-UNICEF, Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Kota Banda, Ketua Komite Dayah Terpadu Inshafuddin