Pendidikan Kedisiplinan Dayah Yang Mengantar Pendidik Menuju Penjara

Oleh: Cut Sri Mulyani*

Dewasa ini dayah sudah menjadi alternatif bagi banyak orang untuk dijadikan tempat belajar bagi anak-anaknya. Seiring dengan meluasnya sebaran dayah di berbagai daerah, kini lembaga ini menjadi sangat tidak asing di masyarakat. Dayah merupakan lembaga pendidikan Islam yang menjadi tempat transmisi keilmuan agama Islam dan sudah sangat mengakar sejak Islam bertapak di Aceh ratusan tahun yang lalu.

Proses pendidikan di dayah tidak hanya menuntut santri menguasai aspek pengembangan intelektual, namun juga pada aspek kepribadian. Patut diakui bahwa dayah merupakan salah satu tempat yang sangat menunjung tinggi nilai kedisiplinan dan ketaatan. Sering kita jumpai orang tua dan guru-guru kita yang mengglorifikasi sistem pendidikan dahulu yang mereka alami. Dahulu teungku mengajar kitab atau mengajar Alquran dengan sebilah bambu di tangan. Pukulan dan bekas-bekas rotan di tubuh bukanlah sesuatu yang aneh dan langka. Hal-hal itu yang membuat mereka menjadi ‘orang’, katanya. Namun benarkah cara tersebut memang efektif, dan masihkah hukuman fisik tersebut relevan di zaman sekarang?

Seiring berjalannya waktu, jumlah lembaga pendidikan dayah terus meningkat dan mengalami kemajuan. Dayah saat ini sudah berada di setiap daerah. Jika dahulu hanya ada dayah yang fokus dengan pembelajaran kitab-kitab turats (yang dikenal dengan dayah salafi atau dayah tradisional), saat ini sudah banyak dayah yang pembelajarannya tidak hanya melalui kitab turats tapi mengintegrasikannya dengan kurikulum sekolah umum. Dayah-dayah ini sering kita sebut dengan dayah terpadu atau modern.

Saat berbicara mengenai penerapan kedisiplinan kepribadian yang diterapkan di dayah, maka kita juga akan berbicara mengenai konsekuensi dari kedisiplinan yang dilanggar. Untuk melaksanakan pembinaan tersebut, dayah menerapkan aturan ketat dengan menerapkan hukuman bagi santri yang melanggar aturan, biasanya dikenal dengan istilah ta’zir. Tidak bisa dipungkiri bahwa hukuman dalam bentuk fisik masih banyak diterapkan di dayah.

Jika berselancar di dunia maya, banyak kita temukan kasus-kasus pendidik yang dilaporkan oleh orang tua santri dengan kasus kekerasan terhadap anaknya. Hukuman kedisiplinan di dayah kerap kali dihubungkan dengan kekerasan di dunia pendidikan. Isu ini semakin meruncing tatkala dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Penulis sendiri selaku praktisi yang berkecimpung di dunia pendidikan dayah kerap kali menemukan fenomena dimaksud. Penggunaan media sosial yang meluas menjadikan hal ini semakin pelik. Orang tua santri yang sedikit banyak mengerti hukum dan undang-undang tidak segan untuk membawa kasus ke ranah pidana jika anaknya mendapat hukuman pelanggaran, terutama hukuman fisik. Hal itu cukup menguras tenaga dayah karena berurusan dengan hukum pidana di meja hijau tidaklah mudah. Banyak waktu dan biaya yang terkuras sekalipun guru dinyatakan tidak bersalah pada akhirnya.

Dahulu di dunia pendidikan dayah (khususnya dayah tradisional) sangat jarang ditemui fenomena orang tua santri yang melaporkan guru anaknya, walau mendapatkan hukuman fisik sekalipun menimbulkan bekas. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi hal dimaksud. Belasan hingga puluhan tahun lalu  sosial media belum dapat diakses dengan leluasa sehingga informasi belum mudah didapatkan seperti sekarang. Masyarakat belum melek hukum. Sekiranya ada yang tidak ridha jika anaknya dipukul, maka tidak ada hal yang bisa dilakukan oleh orang tua lantaran terbatasnya informasi. Selain itu, di dayah tradisional masih banyak yang memiliki tokoh-tokoh ulama kharismatik yang punya posisi tinggi di ranah ta’zimnya masyarakat Aceh. Sebaliknya yang terjadi di kebanyakan dayah saat ini, khususnya dayah terpadu yang membagi sebagian komposisi pembelajarannya pada pendidikan ‘dunia’. Ada lebih besar porsi pendidik yang berasal dari kalangan profesional bidang keilmuan saintek, sosial, dan bidang lainnya. Posisi ini mungkin tidak menempati tingkat ta’zim di hati masyarakat sebagai mana posisi para ulama kharismatik.

Dalam Islam, ada hukuman fisik yang populer dan dikenal masyarakat melalui hadis Rasulullah tentang pendidikan shalat wajib pada anak. Ada salah satu hadis yang diriwayatkan Abu Daud yang artinya “Perintahkan anak-anak kalian mengerjakan shalat sejak mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka (jika melalaikannya) ketika mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka”. Hadis ini mengindikasikan bahwa perbuatan hukuman fisik itu boleh dilakukan namun harus diterapkan dengan kasih sayang, tidak dengan benda keras, dan tidak melukai. Hal itu didasari dengan perintah Allah yang menyuruh untuk berdakwah dengan mau’idhah hasanah. Rasululullah juga dikenal dengan pribadi yang sangat lembut, dan dari banyak riwayat dikatakan bahwa Beliau hanya mengangkat pedangnya saat berperang.

Prinsip hukuman bertujuan untuk menindak santri sebagai pengajaran atas konsekuensi perbuatan pelanggaran yang telah diperbuat. Hal itu salah satu bentuk pendidikan bahwa setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan. Selain itu hukuman bersifat preventif, yang artinya bertujuan agar seluruh santri tidak melakukan pelanggaran. Akhir kata, punishment dirasa sangat diperlukan dalam proses pembelajaran di dunia pendidikan dayah sebagai evaluasi pembelajaran. Namun alangkah baiknya hukuman fisik itu menjadi jalan terakhir dan dijadikan sebagaimana garam dalam masakan. Sedikit membuatnya lezat, namun jika banyak dapat merusak seluruh masakan. Kita berharap semoga tidak ada lagi kasus guru dayah yang berurusan dengan pidana akibat proses pendidikan di dayah. Dayah merupakan harapan besar kita dalam menghasilkan sosok berilmu pengetahuan yang dapat melestarikan keilmuan dan adab di negeri Aceh kita tercinta.

*Penulis adalah Guru Dayah Modern Darul Ulum, Peserta Pelatihan Menulis Ilmiah guru dan santri yang dilaksanakan Oleh Disdi Dayah Banda Aceh, 15-17 Agustus 2022 di Hotel Kyriad Muraya Aceh