Ma’na Qadha Puasa Bagi Wanita Yang Berhaid

Oleh : Tgk Alizar Usman*

Dari Abu Sai’d, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ ، وَلَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا

“Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa? Itulah kekurangan agama si wanita. (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no. 1951 dan Muslim no. 79)

Merujuk kepada hadits ini, maka makna qadha lebih tepat bermakna menggantikan di luar waktunya ( qadha), bukan bermakna melakukan dlm waktunya.
Ini juga di dukung oleh ijmak ulama yg di kutip antara lain :
Al-Imam Abi al-Ma’ali Abdul Malik Ibn Abdillah Ibn Yusuf al-Juwaini (w.478H)

“Umat (ulama) telah berijma bahwa yang wajib dilakukan itu adalah puasa yang sah dilakukan. Kemudian, mereka sepakat tidak sah puasa wanita haid. Karena, bagaimana bisa sah, sedangkan telah ada ijma wanita haid dianggap bermaksiat kepada Allah apabila mereka menahan diri dari yang membatalkan sembari tetap berniat berpuasa.” (Al-Juwaini, al-Talkhish Fi Ushul al-Fiqh, volume 1, halaman 422-433).

Al-Imam Abu Muhammad Baha’uddin Abdurrahman Ibn Ibrahim Ibn Ahmad al-Maqdisi (w.624H)

“Wanita haid dan nifast mesti berbuka dan meng-qada puasa tersebut berdasaran ijma dan jika mereka tetap berpuasa maka belum sah berdasarkan ijma.” (Baha’uddin al-Maqdisi, al-‘Uddah Syarh al-‘Umdah, volume 1, halaman 41).

Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab Ibn ‘Ali Ibn Abdil Kafi al-Subuki (w.771H)

“Larangan berpuasa menurut agama bagi wanita haid adalah berdasarkan ijma, sehingga mereka haram berpuasa dan memang tidak sah.” (Al-Subuki, al-Ibhaj Fi Syarh Minhaj al-Wushul Ila ‘IIm al-Ushul, volume 1, halaman 79).

*Penulis adalah Kadisdik Dahyah Banda Aceh