Sikap Masyarakat Ditengah Pandemic Covid-19 Dalam Perpesktif Psikologi Kepribadian

Oleh Farah Rozana*

Usai presiden mengkonfirmasi dua orang warga negara Indonesia positif Virus Corona, rasanya kekehan yang tadinya sangat hebat seketika berhenti. Baru saja aku membaca sebuah postingan pribumi Indonesia yang kurang lebih mengatakan bahwa Virus Corona tidak akan dapat bertahan di Indonesia karena iklimnya yang whole summer, serta dengan pola masyarakat Indonesia yang katanya bar-bar dan ambyar,  Pernyataan terbantahkan ketika pengumuman di sampaikan Presiden.

Berangsur-angsur kepanikan mulai menunjukan peningkatan, dan masyarakat semakin sibuk untuk bertindak dengan hal-hal yang mereka anggap benar dan dapat mereka kendalikan. Takut, dengan ketidakpastian, akan terjangkit atau tidak. Bingung, apa yang harus dipersiapkan, sedangkan masker medis dan handsanitizer telah punah seketika. Kekalutan itu, disebabkan oleh makhluk Allah Swt. yang tidak terlihat oleh dua mata manusia, yang tidak dirasa oleh peraba, dan sangat berbahaya bagi mereka yang bernyawa. Makhluk ini disebut Virus Corona.

Saat ini, merujuk pada data dari WHO (World Health Organization)  per tanggal 25 April 2020, sebanyak 2.719.897 orang masyarakat dunia dikonfirmasi terjangkit covid-19. Sekitar 187.705 orang diantaranya meninggal oleh virus ini. di Indonesia sendiri pada tanggal 25 April 2020, pemerintah Indonesia melaporkan 8.607 orang terkonfirmasi positif virus corona. 720 diantaranya meninggal dan 1.042 sembuh dari virus.

orang-orang kalang kabut mencari masker dan handsanitizer yang katanya kebutuhan penting dalam perlindungan diri. Banyak pula yang mengisi rumah-rumah dengan stok makanan dalam jumlah besar. Beras, telur, makanan kaleng dan lainnya. Rasanya kita tidak akan ingin untuk keluar rumah lagi setelah ini, rasanya besok adalah akhir dari kesibukan dan urusan dunia. para mahasiswa seolah ingin pulang dan melupakan segala kekhawatiran akan tugas dan ipk. masker kosong, handsanitizer kosong, toko banyak yang tutup, orang-orang tidak seceria dulu. Kemudian, pemerintah memberlakukan libur 14 hari untuk mengurangi serta mendeteksi virus ini lebih cepat bagi mereka yang sedang dalam masa ODP. Melihat peningkatan kasus Covid-19 di Indonesia, pemerintah menindaklanjuti libur 14 hari tersebut dengan dilakukannya lockdown di beberapa daerah dan social-distancing. Aturan ini mengharuskan masyarakat untuk tetap dirumah, bahkan menjalankan berbagai aktivitas dari rumah, seperti bekerja, sekolah, kuliah, dan menjaga jarak dari orang lain.

 Namun Social-distancing ini nyatanya tidak dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Sebagian orang menolak untuk mengikuti himbauan pemerintah, dengan beberapa alasan krusial. Para pedagang kecil, terpaksa harus tetap menjajakan dagangannya, para nelayan  tidak dapat terus-terusan berada di rumah, serta para buruh yang telah di PHK harus keluar dan mencari cara agar tetap bertahan. Mengapa sikap ketidakpatuhan ini terjadi?

Salah satu Psikolog Amerika yang lahir pada 1 April 1908 dan meninggal pada umur 62 tahun, tanggal 8 Juni 1970. Ia adalah seorang teoritikus dan juga seorang pelopor ada aliran psikologi humanistik. Ia sangat terkenal dengan teorinya Hierarki kebutuhan manusia. Maslow percaya bahwa setiap orang memiliki keinginan yang kuat dalam mengaktualisasikan persepsi dan potensi dalam dirinya untuk sampai pada tahap aktualisasi diri, lalu transendesi diri. Menurut Maslow manusia terdorong untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan manusia tersebut memiliki tingkatan atau hierarki dimulai dari yang paling rendah yaitu kebutuhan fisiologis dan kebutuhan yang paling tinggi yaitu transendensi diri.

Nah, teori Hierarki kebutuhan manusia oleh Abraham Maslow ini dapat menjelaskan fenomena perubahan sikap yang terjadi pada masyarakat ditengah pandemik Covid-19 saat ini. dalam hal ini, ada satu tingkatan dari hierarki tersebut yang akan kita kupas dalam memahami sikap menolak himbauan #dirumahaja yang lahir ditengah masyarakat saat ini.

        

Kebutuhan Fisiologis (Physiological needs)

Kebutuhan pertama manusia menurut Maslow menjelaskan sikap yang terjadi di tengah masyarakat, yaitu sikap menolak akan peraturan-peraturan darurat akan keamanan seperti social-distancing, WFH, dan sebagainya. Tidak semua aturan tersebut dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat sebab di antara mereka harus memenuhi kebutuhan yang sangat utama yaitu kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisik yang tidak dapat ditolak atau diabaikan. Makan, minum, rumah, oksigen, kesehatan dan pakaian. Masyarakat dengan ekonomi menengah kebawah, ditambah dengan mata pencaharian yang mengharuskannya keluar rumah dan bertemu orang-orang, dapat dengan mudah membuat manusia mengabaikan kebutuhan akan rasa aman, namun berfokus sepenuhnya pada kebutuhan fisiologis.

Banyak video amatir yang merekam masyarakat yang berjualan di jalanan, salah satunya  memperlihatkan seorang pedagang balon keliling yang rela berjualan meskipun tak ada yang melirik dagangannya dan tak ada pula atribut keamanan yang bertengger di tubuhnya. Hal yang ia nyatakan adalah “saya tidak takut Corona, saya hanya takut kalau keluarga saya dirumah tidak makan hari ini”. Ya, ini kebutuhan yang tidak bisa diabaikan, kebutuhan fisiologis. hal ini berhubungan dengan apa yang dikatakan oleh Maslow sebagai “Deficiency motivation” yaitu  motivasi kekurangan bertujuan untuk mengatasi masalah ketegangan manusia karena berbagai kekurangan yang ada. Nah, sikap dimana menolak WFH, dan #dirumahaja ini merupakan sikap yang dilakukan untuk mengurangi ketegangan dalam kebutuhan fisiologinya yang tidak terpenuhi. Perut yang lapar menjadi pendorong untuk mereka keluar dan bekerja agar mendapatkan makanan yang menghilangkan rasa laparnya. Begitu pula haus yang membutuhkan air, dan sakit yang membutuhkan obat. Kekurangan yang akan selalu membutuhkan pemenuhan.

Dengan begitu dapat kita pahami permasalahan yang muncul ditengah pandemik Covid-19 ini dimana banyak masyarakat yang sering kali berhadapan dengan petugas. Banyak orang diluar sana yang masih keluar rumah tanpa adanya perlindungan diri. Hal ini disebabkan oleh kebuutuhan fisiologis yang mendesak sehingga mereka melakukan hal-hal yang masih bisa mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, untuknya serta keluarganya.

            Menyikapi hal ini, ada beberapa hal yang dapat kita lakukan agar kita dapat bersama-sama menghadapi wabah Covid-19. Berbagi adalah salah satu jalan keluar, bagi kita yang berkecukupan akan kebutuhan dasar, hendaklah kita membeli barang seperlunya saja, serta tidak melakukan penimbunan. Buang jauh-jauh sikap egois dan mementingkan diri sendiri. Sudah seharusnya pula untuk membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan. hendaklah kita membantu pemenuhan kebutuhan mereka yang kekurangan, agar peristiwa menyimpangnya mereka dari aturan Social-distancing dapat dikurangi. Saatnya kita saling melengkapi dalam menghadapi Pandemik Covid-19 ini. Agar seluruh keluarga dapat dengan nyaman untuk tetap #dirumahaja

*Penulis adalah Mahasiswi program studi Psikologi, Universitas Syiah Kuala, dan seorang yang menikmati keajaiban aksara.