Pertunjukan Kesenian Di Masjid, Layakkah?

Oleh Mauliza Akbar*

Akhir-akhir ini masyarakat Aceh dihebohkan dengan pertunjukan tarian tradisional Rapai Geleng yang dilaksanakan di halaman Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Meski sudah lebih dari sepekan, kegiatan itu masih menjadi topik hangat diskusi warga, mulai dari media sosial hingga  warung-warung kopi. Pasalnya, kegiatan yang menjadi pembuka Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Sumatera 2022 tersebut membuat sebagian besar masyarakat Aceh geram karena dianggap tidak beradab. Masjid yang seharusnya berfungsi untuk beribadah, justru disalahfungsikan menjadi tempat pegelaran seni. Lantas benarkah masjid tidak boleh digunakan untuk hal demikian?

            Secara historis, ditemukan riwayat-riwayat yang menunjukan Rasulullah SAW mengizinkan sekaligus menyaksikan pegelaran kesenian di pelataran Masjid Nabawi. Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim menceritakan bahwa ada beberapa orang dari Habasyah melakukan seni tari-musik rebana pada hari Raya ‘Id di Masjid Nabi. Nabi sendiri memanggil dan meletakan ‘Aisyah di pundak Nabi agar dapat menyaksikan pertunjukan itu. Diriwayat lain menyebutkan bahwa Abu Bakar datang untuk menegur pemain kesenian tadi, lalu Rasulullah mendatangi Abu Bakar dan berkata; “Biarkanlah mereka berdua wahai Abu Bakar, karena hari-hari ini adalah hari raya”.

Dalam tayangan Youtube Al-Bahjah TV yang berjudul “Hukum Menabuh Rebana, Bertepuk Tangan dan Qosidah di Masjid..”, Buya Yahya menyebutkan bahwa menyenandungkan syair yang berisi pujian kepada Allah dan Rasulullah SAW, kisah perjuangan islam, dan sejenisnya hukumnya boleh. Pada masa khalifah Umar bin Khattab, Zaid bin Tsabit pernah bersyair di dalam Masjid Nabawi. Agar tidak menimbulkan keributan dikalangan sahabat, setelah bersyair Zaid menegaskan bahwa beliau pernah melakukan hal yang serupa (bersyair di dalam Masjid) langsung di depan Rasulullah SAW tanpa ada pelarangan dari Beliau SAW. Selanjutnya, Buya Yahya menjelaskan adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama terkait hukum menabuh rebana dan alat musik yang diizinkan syariat di dalam Masjid. Sebagian besar ulama syafi’iyyah membolehkannya selama tidak berlebihan dan melanggar batas-batas syariat, sebagian lagi melarang atas dasar kemuliaan masjid sebagai tempat sujud dan dzikir.

Di Indonesia, khususnya Aceh, pegelaran kesenian yang berisi nilai-nilai keislaman tampaknya memang sudah menjadi tradisi dilaksanakan diperkarangan masjid, bahkan di dalam masjid. Setiap momen PHBI seperti Maulid dan Isra’ Mi’raj, hampir disetiap gampong dapat kita temukan kegiatan panggung dakwah. Tidak hanya ceramah, kegiatan perayaan momen keislaman sering diselingi dengan penampilan kesenian seperti nasyid, burdah, dalail Khairat dan sebagainya. Selanjutnya juga kita temukan pegelaran Musabaqah dengan berbagai cabang seni perlombaan juga menjadikan masjid sebagai arena utama. Selama tidak menimbulkan fitnah, mengajak kepada kemaksiatan, melupakan Allah, melalaikan dari ibadah yang wajib serta mengganggu kenyamanan dan ketertiban masyarakat sekitar, maka sah-sah saja pegelaran seni itu dilaksanakan.

Dikutip dari pujatvaceh.com (9/8/2022), Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Teungku H. Faisal Ali (Lem Faisal) menyebutkan, penampilan Rapai Geleng di halaman Masjid Raya Baiturrahman beberapa waktu yang lalu tidak menyalahi aturan dan hukum asalnya boleh. Beliau menambahkan, syair yang dibawakan dalam Rapai Geleng itu berisi shalawat dan nasehat. Kegiatan pun berlangsung di halaman masjid dan setelah waktu shalat Isya. Artinya, kegiatan tersebut tidak mengganggu waktu shalat dan dzikirnya para jama’ah masjid. Seni yang dipertunjukan pun berisi syair-syair dakwah dan pujian kepada Rasulullah SAW.

Terlepas dari penjelasan di atas, penulis menilai bahwa perdebatan yang muncul merupakan bentuk kecintaan masyarakat terhadap kemuliaan Masjid Raya Baiturrahman. Bagi rakyat Aceh, Masjid Raya Baiturrahman adalah ikon Serambi Mekkah dan juga simbol perjuangan Islam dan Negara. Wajar rakyat Aceh bereaksi ketika Masjid kebanggaan mereka merasa ‘dinodai’. Semoga rasa itu terus bertahan.

*Penulis adalah Guru Dayah Tahfizh Al-Hanifi Lamdingin, Peserta Pelatihan Menulis Ilmiah yang dilaksanakan oleh Disdik Dayah Banda Aceh 15-17 Agustus 2022 di Hotel Kyraid Muraya Aceh