DAYAH telah banyak mengabdi kepada rakyat Aceh terutama dalam hal menghasilkan pemimpin masyarakat dalam bidang ilmu pengetahuan agama. Orang-orang tersebut telah memainkan peran yang penting dalam membina komunitasnya dalam bidang keyakinan dan praktik agama.
Meskipun demikian, dayah juga mendapatkan kritik oleh para intelektual karena hanya menghasilkan lulusan dalam bidang agama dan tidak ada keahlian lain yang berguna.
Berdasarkan kritik tersebut, dayah-dayah seharusnya menghasilkan lulusan yang mempunyai keahlian lain sebagai tambahan belajar agama, khususnya bagi siapa yang tidak ingin melanjutkan studinya hingga menjadi seorang ulama. Karena tuntutan pembangunan dalam bidang ilmu pengetahuan dan tehnologi sekarang memerlukan keahlian untuk bekerja.
Berdasarkan pada kenyataan ini, dayah-dayah melengkapi lulusannya dengan berbagai keahlian yang nantinya mereka akan mendapatkan pekerjaan yang layak. Sebaliknya, mereka tidak akan mampu mencari pekerjaan dan akan menjadi pekerja bawahan, dan untuk menjadi kelasmenengah atau kelas atas akan tetap tertutup bagi mereka.
Kenyataan ini adalah sebagai tuntutan perubahan ekonomi dan sosial dalam masyarakat Indonesia umumnya suatu keadaan yang sama terjadi di Aceh.
Beberapa dayah mencoba untuk mengajarkan berbagai ke- ahlian bagi murid mereka. Bagaimanapun, inisiatif ini masih berada pada tahap terbatas. Beberapa program tidak diatur dengan baik, bahkan radainsidental, dan jenis keahlian yang dilatih pun masih tergantung pada tenaga pengajar yang tersedia.
Dalam hal ini, apa yang terjadi di Dayah Darussalihin Lam Ateuk, Aceh Besar dapat dijadikan sebagai contoh, yang mana murid-murid dayah tersebut belajar menjahit. Anak laki-laki diajarkan menjahit kopiah sementara murid perempuan diajarkan menjahit pakaian wanita. Di beberapa dayah, terdapat koperasi murid yang diatur meskipun tidak secara professional.
Dalam beberapa waktu, beberapa lulusan dayah menjadi pemimpin formal yang duduk di kursi pemerintahan; di lain pihak ada jugayang menjadi pemimpin informal. Biasanya mereka aktif dalam pembangunan masyarakat. Tradisi ini berlangsung sampai hari ini, meskipun lulusan dari sekolah lain (madrasah dan sekolah umum) juga aktif dalam kehidupan masyarakat.
Sebelum kedatangan Belanda ke Aceh, beberapa ulama yang tamat dari dayah juga aktif dalam bidang kehidupan masyarakat. Sebelum kedatangan Belanda ke Aceh, beberapa ulama yang tamat dari dayah juga aktif dalam bidang ekonomi, khususnya bidang pertanian.
Sebagai contoh, Tgk. Chik di Pasi memimpin masyarakat membangun sistem irigasi, seperti yang dilakukan oleh Tgk. Chik di Bambi danTgk. Chik di Rebee.
Partisipasi ulama dalam kegiatan tersebut dilakukan secara suka rela dan tidak di bayar sama sekali. Abu Keumala memimpin dewan pengurus pembangunan masjid dari jauh: dia sendiri tinggal di Medan –yang jauhnya sekitar 500 km dari kampungnya dan berbeda propinsi-meskipun demikian, dia menjadi ketua dewan pengurus di kampungnya, Seunuddon, Aceh Utara.
Tidaklah terlalu sulit dimengerti mengapa ulama dayah sering dipilih sebagai pemimpin dan organisatoris. Pertama, mereka sendiri dengan tekun terlibat secara sukarela jika merekasepakat bahwa kegiatan-kegiatan tersebut bermanfaat bagi masyarakat dan tujuan agama. Menurut Habib Chirzin, hal demikian benar, karena hampir semua lulusan dayah, seperti juga terjadi pada para lulusan madrasah.
Perbedaannya, lulusan sekolah umum ataupun madrasah-madrasah kebanyakan berorientasi pada materi meskipun mereka adalah paraelit Muslim. Sebagaimana yang diteliti oleh Ibrahim Husein, perilaku elit muslim kontemporer yang datang dari madrasah dan sekolah umum menderita krisis idealita. Mereka sibuk dengan dirinya masing-masing dan tanpa memperdulikan masyarakat lain.
Menurut Ali Audah, dewasaini, krisis tersebut menjadi krisis nasional yang para elit Muslim tidak mau bekerja keras memperbaiki generasi muda. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Dia menambahkan betapa jarang lulusan universitas yang menjadi guru hanya karena gaji sedikit.
Kedua, sikap para ulama dayah dirasa oleh masyarakat lebih dipercaya ketimbang pemimpin secular. Ulama dayah dianggap oleh masyarakatsebagai orang yang sesuai apa yang dikatakan dengan apa yang mereka lakukan. Ketiga, mereka juga mempunyai kemampuan mendorongmasyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan yang dapat meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan.
Mereka bisa melakukan hal tersebut karena mereka memiliki pengetahuan agama yang digunakan untuk memperingatkan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Jelasnya, simbol-simbol agama, menjadi perhatian dan tujuan kuat yang mempengaruhi dan memotivasi masyarakat di Aceh. Lulusan dayah telahmenunjukkan bahwa mereka memiliki perhatian yang besar terhadap masyarakat dan berbagai kepentingan.
Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa selama meudagang di dayah, mereka melewati pengalaman baru yang berbeda dengan pengalaman merekaselama berada di kampung halaman. Jadi lulusan dayah menjadi seorang yang mempunyai dua latar belakang kultur yang berbeda, di satu pihak realitas sosial yang mereka temui ketika berada di kampung halaman dan di pihak lain sesuatu yang baru yang mereka pelajari di dayah.[]