Inovasi Militer Muslim Di Masa Perang Salib (Part 1)

KEBERHASILAN sebuah negeri atau kerajaan dalam menghadapi lawan-lawannya sangat ditentukan antara lain oleh keunggulan militer yang dimilikinya. Keunggulan militer ini tentunya ikut dipengaruhi oleh kemampuan dalam melakukan inovasi atau temuan baru yang menjadikannya satu langkah lebih maju dibandingkan musuh. Hal yang sama juga berlaku pada masa Perang

Pada masa-masa ini ada beberapa inovasi militer yang muncul, baik yang masih dalam bentuk ide atau konsep maupun yang sudah diterapkan di medan pertempuran. Berikut ini akan dipaparkan beberapa bentuk inovasi yang ada di tengah pasukan Muslim pada masa pemerintahan Nuruddin Mahmud Zanki (w. 1174) dan Shalahuddin al-Ayyubi (w. 1193).

1. Merpati pos reguler

Pada masa Perang Salib yang sedang dibicarakan ini, tentara salib belum mengenal teknik pengiriman informasi dengan menggunakan burung merpati. Sehingga jika mereka dikepung secara ketat di sebuah benteng oleh pihak Muslim, mereka sama sekali tidak mampu berkomunikasi dengan rekan-rekannya yang berada di luar wilayah itu.

Hal ini pernah berlaku pada pertengahan tahun 1137, pada pada masa kepemimpinan ayah Nuruddin, yaitu Imaduddin Zanki (w. 1146). Ketika itu Raja Yerusalem, Fulk of Anjou (w. 1143), dan pasukannya kalah dalam sebuah pertempuran dengan pasukan Muslim. Ia dan pasukannya terpaksa menarik diri dan bertahan di dalam benteng Montferrand (Ba’rin) di Suriah Utara. Imaduddin Zanki dan pasukannya kemudian mengepung benteng ini dengan ketat, sehingga pasukan salib sepenuhnya terputus dari dunia di luar benteng.

Mereka sama sekali tidak dapat mengakses informasi dari luar ataupun mengirim informasi ke luar benteng. Jika informasi saja terputus, apalagi makanan. Situasi ini menyebabkan mereka mengalami kelaparan dan tidak dapat meminta bantuan pada pasukan salib di kota lain yang berdekatan.

TERKAIT

Pasukan salib berusaha bernegosiasi dengan Zanki. Mereka bersedia memberikan sejumlah uang dan menyerahkan benteng itu pada pihak Muslim dengan syarat mereka diijinkan meninggalkan benteng itu dengan aman. Pada mulanya, Zanki menolak tawaran ini dan terus mengepung benteng. Namun, beberapa waktu kemudian Zanki mengetahui tentang adanya pergerakan pasukan salib lainnya yang sedang menuju ke tempat itu untuk membantu raja mereka. Maka ia pun menerima tawaran Raja Yerusalem. Mereka diperkenankan pergi dengan aman dan sebagai gantinya benteng itu diserahkan kepada Muslim dan sebagai tambahannya mereka juga membayar uang tebusan sebesar 50.000 dinar.

Setelah memenuhi kesepakatan itu, Fulk of Anjou dan pasukannya pun pergi meninggalkan benteng. Di tengah perjalanan pulang, mereka bertemu dengan pasukan salib yang sedang bergerak untuk membantu mereka. Fulk sama sekali tidak mengetahui tentang rencana kedatangan mereka, karena ia sama sekali terputus dari informasi luar selama berada dalam kepungan. Jika ia mengetahui ada pasukan salib yang datang membantu, kemungkinan besar ia akan tetap bertahan dari kepungan pasukan Muslim. Tetapi semuanya sudah terlambat. Ia sudah terlanjur menyerahkan uang tebusan dan benteng Montferrand kepada pihak Muslim. Semua itu semata-mata disebabkan kegagalan pasukan salib dalam mengakses informasi yang mereka perlukan.

Hal semacam ini dapat dikatakan tidak berlaku pada pasukan Muslim, karena ketika itu mereka sudah mengenal cara pengiriman informasi dengan menggunakan burung merpati. Burung-burung merpati yang telah dilatih ini disisipi pesan, biasanya pada kakinya, yang kemudian diterbangkan ke tempat tujuan. Dengan cara ini, informasi bisa tetap disampaikan walaupun pasukan Muslim dalam keadaan terkepung sekalipun.

Bahkan menurut Francesco Gabrieli dalam Arab Historians of the Crusades, sistem informasi reguler dengan menggunakan burung merpati telah diterapkan untuk pertama kalinya pada masa kepemimpinan Nuruddin Mahmud Zanki di Suriah. Dengan demikian, para pemimpin Muslim di setiap kota senantiasa mendapatkan akses informasi yang cepat secara berkala. Ditambah lagi dengan sistem intelijen dan jaringan informasi lainnya yang ada pada masa itu, membuat para pemimpin Muslim dapat mengetahui berbagai hal penting yang terjadi di tempat yang jauh dari tempat mereka.Dengan demikian, mereka selalu dalam keadaan siap untuk mengantisipasinya.

2. Upaya pembelokan sungai

Contoh yang kedua ini baru dalam bentuk ide, tetapi menarik untuk disebutkan mengingat masih sangat terbatasnya teknologi yang ada pada masa itu.

Pada pertengahan tahun 1185, dua tahun sebelum pembebasan al-Quds, Shalahuddin al-Ayyubi masih sibuk dengan upaya penyatuan wilayah Muslim. Ketika itu ia berusaha untuk menaklukkan kota Mosul yang pemimpinnya selama sekian lama selalu berada di pihak yang berseberangan dengannya. Saat tiba di depan kota yang baru pertama kali dilihatnya itu, Shalahuddin menyadari bahwa kota itu terlalu besar untuk dikepung dan terlalu sulit untuk ditaklukkan. Memang pada akhirnya, setelah mengepungnya selama beberapa waktu, Shalahuddin menarik pasukan dan mengadakan perjanjian damai dengan pemimpin Mosul.

Namun selama upaya penaklukkan kota itu, ada seorang ilmuwan yang menawarkan jasanya pada Shalahuddin. Ilmuwan itu, Fakhruddin Abu Syuja’ ibn al-Dahhan, berasal dari kota Baghdad dan kebetulan sedang berada di kota Mosul. Ia mengusulkan pada Shalahuddin untuk mengubah aliran Sungai Tigris yang melewati kota Mosul sehingga aliran itu pindah ke jalur yang berbeda dan tidak lagi melalui kota Mosul. Jika kota Mosul tidak lagi dialiri Sungai Tigris, kota itu tentu tidak akan mampu bertahan lama karena kehilangan sumber air minumnya dan akhirnya akan menyerah.

Shalahuddin sempat mempertimbangkan tawaran ini, tetapi akhirnya urung melakukannya. Hal itu disebabkan besarnya tenaga dan lamanya waktu yang diperlukan untuk menjalankan rencana tersebut. Bagaimanapun, ilmuwan tadi berani mengusulkan gagasan itu tentu berdasarkan perhitungan yang cermat bahwa hal itu mungkin untuk dilakukan. Namun, tampaknya Shalahuddin melihat konsekuensi dari rencana itu terlalu mahal untuk diterapkan pada sebuah kota Muslim seperti Mosul. Maka ia pun memilih upaya lain dan pada akhirnya menyetujui perjanjian damai dengan pihak Mosul.*/bersambung Inovasi Gree Fire

Penulis adalah ahli sejarah, penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib” dan“Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III”

Sumber: Hidayatullah.com