Dayah, Sebutan Legendaris Pesantren Di Aceh

Sebagai wilayah pertama di Asia Tenggara yang menerima kehadiran Islam sejak abad pertama hijriyah, Aceh merupakan kawasan yang masyarakatnya memiliki karakteristik yang unik. Keunikan karakteristik ini disebabkan kuatnya pengaruh Islam dalam proses pembentukan rakyat Aceh. Bahkan, Islam menjadi asas pembinaan budaya itu sendiri.

“Benteng yang paling berjasa dalam proses pertahanan budaya masyarakat Aceh adalah lembaga pendidikan yang disebut Dayah,” ujar Teungku Haji Hasanoel Bashri HG, salah satu ulama kenamaan asal Samalanga Bireuen, saat ditemui belum lama ini.

Menurut tokoh yang akrab disapa Abu MUDI ini, kata “Dayah” merupakan kutipan dari bahasa Arab “Zawiyah” yang berarti majelis pengajian. Kata itu kemudian berubah sesuai dengan dialek bahasa Aceh menjadi dayah. Dalam perkembangan selanjutnya, lanjut Abu MUDI, dayah dalam terminologi orang Aceh menjelma sebuah lembaga pendidikan Islam yang berperan aktif membina keteguhan keimanan, akhlak, dan keilmuan masyarakat.

“Selain sebagai pusat pendidikan Islam, Dayah juga tempat para ulama menetap, di mana dalam masyarakat aceh ulama merupakan tempat bertanya dan meminta kepastian hukum agama yang merupakan sendi-sendi kehidupan masyarakat,” ujar Abu MUDI.

Pengasuh Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Ma’hadal Ulum Diniyyah Islamiyyah Mesjid Raya (MUDI Mesra) ini bercerita, di masa kejayaan Kerajaan Islam Aceh Darussalam, saat kesultanan dijabat Sultan Iskandar Muda, dayah menjadi lembaga pendidikan resmi yang mencetak aparatur pemerintahan kerajaan. Fakta ini terus berlanjut hingga masa invasi kolonial Belanda.

“Ulama lalu menjadikan dayah sebagai basis perjuangan melancarkan gerakan jihad melawan penjajah. Pada masa itu, peran ulama meluas hingga ranah politik. Masa-masa kolonial Belanda di Aceh merupakan masa berperan penuhnya ulama terutama setelah tertawannya sultan. Ulama tidak hanya berperan sebagai pemimpin agama, tapi juga pemimpin politik dan militer sekaligus,” tuturnya.

Setelah kemerdekaan, tambah Abu MUDI, peran dayah diganti oleh sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah sesuai dengan perkembangan masa dan kebutuhan. Dalam kondisi ini, dayah sebagai lembaga pendidikan tertua tetap mampu eksis di bawah asuhan ulama. “Sistem pendidikan dayah yang tidak memungut biaya pendidikan menjadikannya lebih akrab dengan masyarakat kelas bawah,” ujarnya bangga.

Kini, dayah dihadapkan kepada tantangan modernisasi dan globalisasi yang sejak zaman penjajahan hingga sekarang tidak dapat dihindari. Fenomena ini,  bagi Abu MUDI, telah mengikis budaya islami masyarakat, terutama generasi muda. “Di sinilah peran dayah terbukti mampu memberikan basis moral islami yang kuat bagi generasi muda sehingga mereka memiliki filter dalam menghadapi arus modernisasi,” ujarnya.

Abu MUDI menyebut, kesadaran masyarakat akan fakta tersebut telah menguatkan komitmen para ulama untuk terus melestarikan eksistensi lembaga dayah. Komitmen tersebut diikuti masyarakat dengan menitipkan anak mereka agar turut mengecap pendidikan dayah. “Saya yakin, dayah sebagai satu warisan kebudayaan Islam yang melegenda di masa silam, terus berkembang pada masa kini hingga yang akan datang,” tegasnya. (Musthofa Asrori/Mahbib/Sumber NU)