DUNIA dayah tidak dapat dipisahkan dari komponen santri, guru dan masyarakat. Salah satu ciri khas yang melekat dan menjadi identitas seorang pelajar yang bernama santri adalah akhlakul karimah. Manakala seseorang mendengar sebutan santri, tentu akan membayangkan seseorang yang mempunyai ilmu agama yang tinggi, akhlak yang baik dan tawaduk.
Begitulah pandangan masyarakat luar tentang dayah. Dan harusnya kita sadar dengan keadaan tersebut, karena pandangan dan kepercayaan masyarakat kepada kita yang sangat besar. Kita harus mengoreksi diri, sudahkah kita seperti yang diharapkan oleh masyarakat luar dayah atau dayah?
Seharusnya kita sering mengoreksi diri, selama satu tahun di dayah ini, apa saja yang sudah kita dapatkan, sudahkah kita menyiapkan “oleh-oleh” yang dipesan oleh masyarakat? Ataukah malah kita hanya buang-buang waktu tanpa ada yang kita dapatkan dari dayah tercinta ini? Itulah pertanyaan-pertanyaan besar yang harusnya dengan adanya pertanyaan-pertanyaan itu, kita sadar apa tujuan utama kita dipondokkan oleh orang tua kita. Yaitu agar kita sadar bahwa kita dipondokkan untuk menjadi orang yang berguna di keluarga khususnya serta di masyarakat pada umumnya.
Dan apabila kita merasa sudah siap untuk terjun ke masyarakat, karena bagaimanapun keadaan kita siap atau tidak siapnya bila berbicara tentang santri, masyarakat akan selalu menempatkan kita pada barisan terdepan dalam memecahkan suatu permasalah apalagi masalah tersebut adalah permasalahan keagamaan. Oleh karena itulah tindak-tanduk kita harus sesuai dengan apa yang sudah menjadi batasan-batasan di masyarakat.
Karena bagi seorang santri jelas berbeda batasannya dengan orang-orang di luar dayah, yang mana pendidikan keagamaannya jauh dengan pendidikan keagamaan kaum bersarung. Bila orang dil uar berlari kita harus berjalan, bila orang di luar di depan kita harus di belakang, dan bila orang di luar di atas kita harus berada di bawah. Itulah prinsip yang harus dipegang oleh para santri.
Tetapi para insan dayah terkadang beranggapan lain ketika mereka telah menjadi bagian dari masyarakat dan pulang. Mereka merasa bebas dari peraturan dayah, mereka juga merasa bebas dari segala batasan-batasan di masyarakat. Apalagi jiwa-jiwa muda yang masih menuruti kesenangan sesaat tanpa memikirkan akibatnya. Padahal anggapan seperti itu adalah kesalahan fatal, justru setelah kita bebas dari peraturan dayah kita harus siap menghadapi peraturan yang sesungguhnya yaitu peraturan di masyarakat, yang mana apabila tindak-tanduk kita sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat maka nama kita dan status kita sebagai santri akan harum. Sedangkan apabila sebaliknya maka bukan hanya nama kita yang tercoreng tetapi status kita sebagai santri akan jelek. Dan hal yang terburuk adalah hilangnya kepercayaan masyarakat kepada seorang santri khususnyadan dayah pada umumnya.
Kalau kita mau jujur, perbaikan akhlakul karimah yang sering terjadi di dunia dayah atau pesantren harus terus ditingkatkan. Ketimpanganyang bersifat internal maupun eksternal yang berbasis akhlakul karimah, terkadang kita hanya pandai sebatas dakwah maqaliahnya (perkataan) lewat menjelaskan surah kitab, namun aplikasi akhlakul karimahnya yang masih sangat kurang baik dalam interen dayah maupun dengan eksteren dayah itu sendiri. Satu hal yang harus digarisbawahi bahwa dayah itu ibarat bengkel. Tentu saja bengkel itu pusatnya perbaikan dan ruang ‘opname” manusia “sakit” baik “sakit” ringan atau kronis.
Beranjak dari itu mari kita terus berbenah diri di segala lini, tidak ada kesempurnaan tanpa perjuangan dan pengorbanan. Sejauh mana kerja keras dan usaha tentulah begitu juga Allah dan Rasul-Nya akan mengapresiasi usaha kita tersebut dengan terus membuka diri dengan menjalin relasi, perbaikan dan kebaikan untuk menjadikan dayah sebagai mercusuar dan benteng terakhir dalam menjaga dan mendidik moral dan akhlakul karimah generasi penerus agama dan bangsa tercinta ini.[]