“Dayah Antara Harapan Dan Tantangan; Sebuah Catatan”

Oleh Dr. Nurkhali Mukhtar, Lc. MA

Sebenarnya semenjak lama saya ingin menulis sedikit coretan-coretan tentang dayah di Aceh. Namun niat tersebut kadang-kadang timbul tenggelam, mengingat aktivitas satu dan dua yang harus diselesaikan. Tepatnya pagi menjelang siang pada hari Rabu lalu, saya bersilaturahmi dengan Kepala Dinas Dayah Aceh H Zahrol Fajri, SAg, MH. Dalam dialog yang berdurasi lebih kurang dua jam, saya berbincang denganbeliau banyak hal, di antaranya adalah bagaimana Dayah Aceh mampu menjawab tantangan zaman.

Sebagai Kadis Dayah, Bapak Zahrol atau yang saya sapa dengan Ustad Zahrol, bukanlah pemain baru, karena sebelumnya beliau pernah menjadi Kadisayah Kota Banda Aceh. Kembali ke topik pembahasan, pertemuan silaturahmi ini dalam rangka saya menyampaikan tentang telah berdirinya sebuah dayah yang kami pimpin di Jeumpet Ajun Aceh Besar dengan nama Dayah Terpadu Samudera Pasai, sebuah dayah dengan ‘spirit’ keislaman dan Keacehan.

Berbicara tentang Dayah di Aceh, tentu sudah banyak, apalagi ditambah dengan balai-balai pengajian, yang semuanya memiliki visi mencerdaskan umat. Setelah saling menyapa, karena sudah lama kami tidak berjumpa, karena sibuk dengan agenda masing-masing, diskusi kami sampai pada pembahasan bagaimana Dayah Samudera Pasai atau Dayah-dayah lainnya bisa maksimal mengambil peran dalam mencerdaskan umat, terutama dengan hadirnya lulusan yang memiliki keilmuan yang mumpuni dan memiliki keahlian yang handal, sehingga lulusan dayah bisa hadir ke masyarakat sebagai agen dari perubahan dan rekontruksi sosial dalam menjawab tantangan zaman. Ada beberapa catatan yang mengemuka ketika perbincangan kami, di antaranya; menyangkut kurikulum dayah yang sudah digagas oleh para ulama kita mulai dari masa Abu Kruengkalee hingga kurikulum yang diterapkan di Dayah Darussalam Labuhan Haji yang digagas oleh Abuya Muda Waly Al Khalidi. Setelah dihitung jumlahnya sekitar 50 puluhan judul kitab pegangan mulai dari kitab kelas rendah Tajhizi, hingga sampai kelas tinggi Bustanul Muhaqqiqin yang pernah ada di Darussalam Labuhan Haji. Kitab-kitab kurikulum dayah ada yang berjilid-jilid, dan adapula yang tipis satu jilid.

Mengenai kurikulum dayah, buku yang paling luas membahasnya adalah karya Prof Mahmud Yunus, beliau mengkaji sejarah dan kitab-kitab kurikulum pesantren yang diterapkan di seluruh Indonesia, mulai dari Dayah Aceh hingga pesantren yang berada di Sulawesi, beliau bahas semua. Dan sejauh amatan, belum ada karya yang membahas kurikulum seluas tulisan tersebut, tentu tidak mengherankan, karena Prof Mahmud Yunus merupakan ulama pendidik murid dari Syekh Muhammad Thaib Sungayang yang tersambung sanad dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Kitab-kitab yang telah diterapkan dalam standar kurikulum dayah, diharapkan mampu dipahami oleh para peserta didik dalam tempo yang singkat dan waktu yang tidak terlalu lama. Contohnya Teungku Syekh Muda Waly, beliau belajar dalam masa yang relatif singkat, beliau belajar pada beberapa ulama seperti Abu Syech Mud, Abu Muhammad Ali Lampisang namun telah mengantarkan beliau menjadi seorang alim yang memiliki standar keilmuan yang sangat mumpuni, dan bahkan masa 6 bulan beliau di Mekkah, bisa memperoleh ijazah kitab Asybah Wan Nazair dan sanad keilmuan dari Syekh Muhammad Ali Al Maliki yang juga guru dari Syekh Muhammad Yasin Padang. Hal yang sama juga berlaku pada para ulama kita lainnya seperti Abu Kruengkalee yang belajar di Yan Kedah Malaysia beberapa tahun kemudian melanjutkan ke Mekkah dalam waktu yang relatif singkat namun telah mengantarkan beliau menjadi alim yang rasikh ilmunya.

Bahkan para ulama segenerasi Abu Kruengkalee umumnya mendirikan dayah mereka dalam usia kurang dari tiga puluh tahun seperti Abu Cot Kuta, Teungku Meunasah Meucap dan para ulama lainnya. Jadi poin pertama ialah bagaimana dalam waktu yang singkat, namun lulusan dayah mampu memahami kitab-kitab standar kurikulum yang telah ditetapkan dengan pemahaman yang mendalam, sehingga sampai pada target pencapaian dari visi dan misi Dayah Aceh yang mampu bersaing secara nasional dan global.

Catatan lainnya agar dayah di Aceh memiliki daya saing yang global ialah dengan pemantapan Al Qur’an baik hafalan yang berupa tahfidh, maupun ilmu-ilmu pendukung seperti Ulumul Qur’an karangan Al Hafidz Imam Jalaluddin al Suyuthi dalam Al Itqan, maupun Ulumul Hadits karangan para ulama seperti Karya Syekh Nuruddin Itr Syiria atau Taisir Musthalah karya Syekh Mahmud al Thahhan, selain Nukhbatul Fikr karya Al Hafidz Imam Ibn Hajar al Asqalany pengarang Fathul Bari. Catatan lainnya, para santri semestinya memiliki life skill atau keahlian khusus.

Dulu para ulama kita tempo dulu memiliki terobosan dalam hal ini. Sebagai contoh Teungku Abdul Wahab Kenaloi pendiri Dayah Najdiyah yang merupakan murid khusus dari Teungku Chik Jakfar Lamjabat adalah seorang yang ahli dalam menjahid pakaian. Juga demikian dengan Teungku Syekh Ibrahim Lamnga pendiri JADAM Jamiah Diniyah Al Montasikiah murid utama dari Teungku Chik Abbas Lambirah juga seorang yang memiliki ide-ide yang melampaui zamannya seperti yang diutarakan oleh Prof Ali Hasjmi dalam bukunya. Juga demikian halnya dengan ulama dari Jangut Lamno Abu Ibrahim Budi ahli dalam pertanian dan perdagangan, intinya dayah tetap kokoh dalam iklim apapun, mampu memiliki finansial yang mapan, tidak bergantung kepada pihak manapun.

Catatan lainnya, bagi dayah yang berada di daerah tertentu, seperti berada di daerah ‘neuheun’ atau perikanan, maka para santri sejatinya mampu memahami mengenai pengolahan ikan dan ekonomi mikro lainnya. Contoh lain dayah yang berada di kawasan kelapa sawit misalnya, maka santri diharapkan mampu dan memahami pengelolaan kelapa sawit, sehingga kalau pun tidak menjadi ulama semuanya, namun memiliki skil dan keahlian yang bisa dikembangkan ketika berada dalam masyarakatnya. Harapan kita semua tentu sama, dari berbagai dayah di Aceh dengan berbagai model pembelajaran baik salafi, terpadu maupun dayah tahfid, semuanya bertekad melahirkan para lulusan yang berilmu, beraklakhul karimah, mampu menghafal Al Qur’an, rasikh dan mendalam dalam memahami kitab kuning, serta bisa menjadi penyejuk dan oase peredam yang senantiasa membawa solusi, di tengah panasnya berbagai persoalan keumatan, baik dalam level Aceh maupun pada level kebangsaan. Semoga.