A’a’, Manôk, Dan Tulô Èk Asèë

Oleh :Muhmmad Yakub Yahya*

Dalam sebuah kebun pisang, induk ayam dan selusin anak kecilnya, sedang membuka satu ‘warung’ baru. Yang baru saja ‘didesain’ bulat dan ditinggalkan seekor sapi jantan. Setumpuk kotoran memadai untuk makan malam mama ayam dengan anak kecilnya itu.

Di langit mereka, seekor burung besar mengitari, mendekat, dan hinggap di atas dahan durian. Kebun pisang memang dipayungi batang rambutan, durian, dan pinang. Burung hitam itu terbang merendah, bersama datangnya senja. Sebelum menghinggap di daun pinang, dia berteriak, “aaa’ aaa’ aaa…’” beberapa kali.

Berulang kali dia nyanyikan lagu itu-- sehingga orang Aceh pesisir menamakannya, burung a’a’ (burung gagak). Ia juga datang dan pergi sambil berpatroli berulang kali (bahasa Aceh: disama) di udara dengan dua sayap laksana pesawat tempur di atas kota-kota di Yaman sekarang.

Memang begitu, kalau a’a’ ingin mengajak massa berkomunikasi bersamanya. Jika kepentingan mendesaknya, dia mengajak lawannya untuk mendengarkan. Layaknya anjing yang menyalak pada bulan purnama di langit, pada malam hari. Anjing mengira bahwa kalau bulan melotot terang, berarti rembulan itu sedang mencari lawan (musuh) dengannya. Padahal sabit atau purnama itu siklus bulanan, kayak masa suci dan menstruasi bagi perempuan. Atau pergantian jabatan bagi kenegaraan.

Seperti juga ayam yang mengira bahwa fajar menyingsing di ufuk timur, lantaran kokoknya. “Pagi datang tiap hari karena kita berkokok, nak!” kata induk ayam pada anaknya di kandang (geurupoh manôk).

Ayam juga membisik pada putra putrinya, “Mereka makhluk langit, perkasa, dan gagah, nak. Makanannya steril dan elit di langit sana. Sedangkan kita makluk bumi nan lemah, yang mengais di tanah jijik, tanah kotor ini. Dia tidak mau makanan kita, apalagi kalian dengat, kita ini disebut berulang-ulang, “A’a’a’ (jijik, kotor, dan jorok).

Begitulah jika komunikasi bertepuk sebelah tangan. Satu di langit dan satu di bumi. Sering hanya akan mengulangi kesalahan yang sama saban tahun, setiap lima tahun. Maunya sebuah pesan dari sumber yang punya otoritas dan mengajak komunikasi, akan dimengerti utuh dan persis oleh massa yang diajak, “tanpa ada dusta di antara kita,” antara komunikan dan audien.

Jika anak sudah merengek mengiba-iba misalnya, itu satu pertanda bahwa bapaknya harus paham bahwa buah hatinya sedang perhatian, meminta uang jajan misalnya. Atau menagih janji keadilan. Atau ingin penjelasan yang masuk akal, jika tidak ia akan ‘menjaja’ di luar, sesat atau bukan.

Jika sudah begitu, seharusnya selalu ada senyum tulus kebapakan atau keibuan yang dimiliki ayah dan bunda kita. Arif sekali andai ada bapak atau ibu itu memberi, tanpa duluan diminta. Indah sekali jika elit yang serta merta menanggapi tanpa duluan rakyat harus berdemonstrasi dan caci maki.

Jika a’a’ (gagak) berteriak di langit, sungguh suara nyaringnya akan menggema ke seantero kampung di bumi. A’a’ ialah binatang langit, sebagaimana juga elang (kleueng) yang jika mereka berteriak ‘bernyanyi’, maka binatang di bumi seperti ayam (manôk) atau bebek (iték) akan diam mencekam. Mereka membisu saling memandang hampa dan melirik, ”Ada apa, ada berapa ekor di atas?” Ayam-ayam akan mengajak anak-anaknya, mari mendekat dan selalu awas! Juga pipit dan burung kecil lain di dahan-dahan dan ranting-ranting.

Seperti hidup kita ini selalu saja, jika itu keturunan orang yang di langit dan biasa kerap dengan bahasa yang melangit, dan sosok rakyat yang di bumi dan rutin dengan rintihan membumi, tak lagi bakal bertukar alamat.

Hakikatnya padahal kita berhak duduk dan mengubah status sosial apa saja di mana pun. Jangan seperti ujar seorang ahli mistik dan rohaniawan, dalam mengisahkan ketidakmungkinan anak ayam menjadi elang. Ibu ayam melogikan pada seekor anaknya yang ingin menjadi elang, karena darahnya memang mengalir darah elang.

Dikisahkan, petani itu suatu hari menemukan telur elang di sawah. Dia membawa pulang dan mengeraminya bersama telur ayam. Perangai dan pikiran ‘ayam’ yang menetes dari telur elang pun, mirip dengan perangai dan pikiran anak ayam pada umumnya.

Memang di dunia merti ada simbiosis mutualis, keharusan adanya domba, kancil (peulandôk), dan rusa untuk menjadi santapan serigala, harimau (rimueng), dan singa di hutan belantara. Sulaiman Tripa dalam rubrik budaya, di Serambi, pernah mereposisikan sosok domba sebagaimana Ridwan Haji Mukhtar, di situ, pernah juga mengulas tentang perangai harimau (rimueng pluek) yang suka menguliti mangsa.

Walaupun rimueng bulôh, sikapnya juga suka mengunduli dan menguliti lawan. Domba atau serigala memang harus saling melengkapi adanya, biar hutan seimbang sebagai hukum alam (sunnatullah) dalam berekosistem. Tulô èk asèë dan satwa lemah lainnya harus ada demi kelanggengan ekosistem a’a’.

Seekor a’a’ telah hinggap ke daun pinang, tatkala anak-anak tulô èk asèë  (satu jenis pipit) telah ditinggalkan ibunya di sarang. Sarang unik di antara tangkai buah dan pangkal daun pinang (situek) di pucuk pohon (gue) itu.

Pipit itu memang jenis tulô èk asèë, salah satu jenis pipit yang posturnya mungkin mirip kotoran anjing (èk asèë). Sehingga a’a’ pun akan jijik mendekatinya. Selain tulô èk asèë  ada juga tulô breueh (makan beras atau mirip warna beras) dan tulô putéh ulèë (putih kepalanya). Tamsilan ini kita sampaikan, dalam menyahuti saat riuhnya kandidat, ulama atau bukan, berpolitik praktis.

Ibu tulô èk asèë  mengira, sebelum berpamitan, a’a’ tidak akan mengusik sarangnya. Ayam juga begitu. A’a’ tidak akan menerkam dan memakan bayi merah pipit yang masih membutuhkan kasih sayang dan belaian mamanya. Sebab dari mulut gagak tetap keluar nyanyian “aaa’ aaa’ aaa’…,” yang berarti (itu) jorok, jijik, kotor, najis, dosa, dan karena itu tentu tak layak untuk disantap.

Maksud ibu pipit memang betul, “tak mungkin gagak akan memakan anak-anak manis saya, karena kata aaa’ aaa’ yang diulang-ulangkannya itu kan artinya kotor dan busuk.” Malah mungkin gagak akan melindungi anak-anak pipit di sarangnya, selagi ibunya sedang beranjak mencari makan. Ditinggalkan anak-anak terpisah oleh mama ayam.

Namun apa mau dikata, begitu ibu tulô èk asèë  terbang, gagak yang tadi menyatakan aaa’ aaa’, langsung bertengger ke dekat sarang tulo ek asee. Sarangnya dicabik-cabik bagaikan pipit dan kelelawar (simatung) yang bengis mencabik-cabik sarang laba-laba, dan anak-anak tulô èk asèë  pun dilahapmya satu persatu. Hingga habis, bahkan juga telur-telurnya. Kenyang dari sana, gagak berangkat pongah tanpa perlu salam dan terima kasih!

Dilirik ke bawah ada anak-anak ayam, mereka disambar satu dan dua. Usai itu, dia terbang meninggi dalam kekenyangan. Luntur sudah kepedulian dan empati, walau hanya perasaan itu milik sesama mereka di dunia kebinatangan. Memang sarang dan anak-anak tulô èk asèë  dan ayam di lahan harus ada demi makanana gagak, sebagaimana juga domba harus ada demi hidupnya serigala.

Saat sang tulô èk asèë  pulang ke sarang dengan umpan di kaki dan mulut untuk anak-anaknya nan tersayang, dilihatnya dengan rasa tak percaya, anak-anak manis dan juga telurnya sekalian telah habis dimakan a’a’. “Apa juga kamu bilang wahai gagak aaa’ aaa’ tadi, padahal anak-anak saya kau habisi juga?” rintih tulô èk asèë  membatin sambil menangis.

Ayam juga pulang ke kandang sambil meratap, anak sudah berpulang ke sana. Namun tak ada makhluk yang mendengar. Pemilik ayam juga tidak tahu, andai anak ayam tidak dihitung ulang di mulut kandang.

Begitulah kadangkala dari mulut yang bermadu itu keluar kata-kata bahwa, “Itu jorok, kotor, jijik, dan dosa, jangan dekati!” Dalam ceramah, dalam tulisan, katanya itu kotor, ini jorok, tapi ke sana, ke tempat yang  ‘jorok’ juga mereka, kita, rayap pelan-pelan. Namun siapa nyana, ketika politik berbalik, gagang belati di tangannya, sebagian pihak eksekutif atau legislatif, dia duluan pula yang menerkam dan menyantapnya, atau menyuap hanya kelompoknya. Wallaahu a‘lam.

 

Penulis adalah Pengurus DPD Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Banda Aceh; Wadir LPPSDM (1997-2000), dan Wakil Katua Lembaga Litbang DPW BKPRMI Aceh (2009-2012). Pengurus Remaja Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh; Ketua Departemen Kemakmuran Masjid (1997-1999), Sekretaris Umum (1999-2002); Ketua I (2003-2006); Sekretaris Majelis Pertimbangan (2006-2009).