Oleh: Muhammad Syarif,S.HI.,M.H (Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Banda Aceh)
Dayah dalam bahasa arab disebut “zawiyah”, kalau arti harfiahnya adalah “sudut”, karena pada masa Rasulullah, “pengajian dilakukan di sudut-sudut masjid”.
Di beberapa negara muslim lainnya dayah atau zawiyah juga disebut sebagai sekolah agama (madrasah) dan telah eksis sejak zaman kesultanan. Dayah atau Zawiyah adalah pojok atau tempat-tempat yang digunakan sebagai pusat pengkajian Ilmu agama Islam.
Terdapat banyak “daar” di masa lalu berdasarkan penelusuran Chairan M Nur dari Pusat Penelitian IAIN ar-Raniry, inilah sejarah panjang dayah di Aceh.
Di masa kesultanan Aceh, sistem pendidikan yang dikembangkan di Aceh pada awalnya melalui pusat-pusat pengajian di meunasah atau rumah-rumah, lalu berkembang hingga berlangsung di ‘rangkang’ (semacam balai-balai).
Pengajaran paling awal dimulai dengan pengajian al-Qur’an dengan lafal bacaan bahasa Arab yang mengikuti aturan-aturan ilmu tajwid. Pada setiap kampung di Aceh terdapat satu rneunasah yang di sana diadakan pendidikan dasar bagi anak laki-laki. Gurunya adalah teungku imum meunasah bersangkutan, dibantu beberapa orang lainnya.
Di rumah teungku imum pun diadakan pendidikan bagi anak-anak perempuan dan yang menjadi gurunya adalah istri dari sang teungku imum.
Di samping mengajarkan al-Qur’an, sebagian teungku imum juga mengajarkan kitab-kitab Jawo (kitab berbahasa Melayu dengan aksara Arab). Untuk tingkat pemula diajarkan seperti kitab Masailal Muhtadi (memakai sistem tanya jawab, yang dimulai dari masalah tauhid, hukum yang terkait masalah ibadah seperti salat dan puasa).
Selanjutnya diajarkan pula kitab-kitab yang lebih tinggi, seperti kitab Bidayah, Miftahul Jannah, Sirath Sabilal Muhtadin, Kitab Delapan, dan Majmu’.
Bagi yang sudah pandai membaca kitab-kitab tersebut biasanya akan disebut malem Jawo.
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi lagi adalah dayah, biasanya terdapat di dekat masjid. Tetapi ada juga yang berada di dekat rumah teungku yang mempunyai dayah itu sendiri.
Pelajarannya tentu sudah meningkat pula, misalnya sudah mulai mempelajari pelajaran sharaf; yakni pelajaran tentang pembahasan kata dari satu kata menjadi beberapa kata sesuai kaidah-kaidah yang sudah disusun rapi dan menghafalnya sekaligus. Pelajaran sharaf umumnya berguna untuk mengetahui asal kata supaya dapat menyempurnakan kamus. Setelah itu baru dilanjutkan mempelajari nahu, yaitu tata bahasa Arab.
Orang yang sudah menguasai ilmu ini disebut malem nahu. Kitab yang dipakai untuk itu dimulai dengan kitab Ajrumiyah, Mukhtasar, Muthmainnah, hingga akhirnya Alfiyah. Setelah itu diajarkan fikih — yakni pelajaran mengenai hukum-hukum ibadat- yang dimulai dengan kitab Safinatun Naja, Matan Taqrib. Kemudian Fathur Qarib, Fathur Muin, Tahrir, Iqna, Fathu al-Wahab, Mahally, Tuhfan, dan Nihayah.
Baru setelah itu diajarkan pelajaran tafsir al-Qur’an dan al-Hadits.
Lembaga pendidikan dayah di Aceh sudah ada sejak awal berdirinya Kerajaan Islam di Nusantara. Dayah-dayah tersebut tersebar di berbagai wilayah dan sangat memegang peranan penting dalam penyebaran Islam ke berbagai wilayah Nusantara.
Sebelum Belanda masuk, Aceh merupakan daerah kerajaan. Kerajaan tersebut menganut sistem keberagamaan Islam, sehingga pendidikan yang berjalan dengan sendirinya adalah pendidikan yang bernuansa Islam.
Tempat pendidikannya dimulai terutama di meunasah, rangkang, dan dayah.
Dayah-dayah yang tersebar di berbagai wilayah di Aceh sangat menentukan watak keislaman yang kemudian berkembang.
Berdasarkan penelusuran study dokumenter pada masa pra kemerdekaan, salah satu ulama kharismatik Aceh Abuya Syech H. Muda Waly Al-Khalidy, Putra Tgk. H. Muhammad Salim mendirikan Dayah Salafiyah (tradisional) yang diberi nama Dayah Darussalam pada Tahun 1939.
Syech Muda Waly lama menuntut Ilmu di Sumatera Barat dan Jazirah Arab. Alumni Al-Azhar, Cairo Mesir ini dikenal sebagai ulama kharismatik Aceh dan banyak mencetak kader ulama. Pondok Pesantren (dayah) yang dikembangkan oleh Syech Muda Waly awalnya bangunan sederhana yang dibangun oleh Ayahnya Tgk. H. Muhammad Salim dan kini terus berkembang serta melahirkan ribuan santri.
Generasi Al-Waliyah berhasil membangun pondasi Dayah Salafiyah
Generasi Muda Waly atau yang kini dikenal Al-Waliyah pada masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia telah banyak mencetak kader ulama yang mashur dibidang kajian keagamaan sebut saja Abu Abdul Aziz Samalanga (Abu Mudi Mesra/Al- Aziziyah), Abu Abdullah Hanafi yang lebih dikenal Abu Tanoh Mirah (Al-Fata), Abu Tumin Blang Bladeh, Abu Adnan Bakongan serta beberapa ulama kharismatik lainnya.
Kader ulama dibawah binaan syech H. Muda Waly akhirnya mengembankan ilmunya dengan mendirikan Dayah atau Pondok Pesantren di daerahnya masing-masing.
Dayah-dayah yang didirikan oleh murid Syech Muda Waly terus melahirkan berbagai Dayah yang Mashur. Ada yang menambalkan diksi Al-Waliyah; Darul Fikri Al Waliyah, Al Aziziyah; Mabadul Ulum Al Aziziyah dan Al Fata; Madinatul Fata. Mudi Mesra, Bireun, Samalangan dengan diksi Al Aziziyahnya, Darussalam, Labuhan Haji Aceh Selatan dengan Al-Waliyahnya, Seulimum, Aceh Besar dengan diksi Al Fata atawa Ruhul Fata.
Ada juga yang tanpa menambalkan diksi “AL”. Oleh karenanya kita selaku generasi Aceh patut berbangga pada Ijtihad Syech Muda Waly Al-Khalidy dalam membangun Dayah sebagai pusat peradaban nusantara kala itu.
Syech Muda Waly bukan hanya berhasil mendidik semua anaknya menjadi ulama kharismatik Aceh akan tetapi telah berhasil mencetak kader ulama yang menjadi panutan di seantero Aceh.
Adapun anak-anak Syech Muda Wali yang menjadi ulama kharismatik antara lain; Abuya Muhibuddin Waly, Abuya H. Djamaluddin Waly, Abuya Amran Waly, Abuya Nasir Waly, Abuya Mawardi Waly serta Abuya Ruslan Waly, akan tetapi juga telah berhasil mencetak kader ulama Aceh yang kini telah mashur mengembangkan Dayah Salafiyah di Aceh.
Itu artinya nasab idiologi Dayah Salafiyah di Aceh berasal dari generasi Al-Waliyah, yang kini bermetamarfosis menjadi tiga manhaj dayah salafiyah yang manshur yaitu Al-Waliyah, Al-Aziziyah dan Al-Fata. Dalam gerakan dakwah Al-Waliyah melahirkan MPTT, Al-Aziziyah melahirkan Tastafi sementara Al-Fata tidak membentuk komunitas secara spesifik. Wallahu`alam.