Oleh Bung Syarif *
Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) pertama kali di cetuskan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015, Keputusan ini menjadi tonggak sejarah pengakuan negara atas peran santri dan kiyai (tokoh agama), Deklarasi HSN di Masjid Istiqlal jakarta menjadi sejarah kebangkitan santri nusantara.
Tentunya santri patut memberikan apresiasi kepada Presiden Joko Widodo, setidaknya momentum “Hari Santri Nasional” telah menjadi daya ungkit perkembangan santri “se-antero dunia”. Resolusi jihad menjadi pilihan tepat sebagai landasan sosiologis dan filosofis peringatan Hari Santri Nasional setiap jenjangnya (tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, maupun Nasional).
Resolusi jihad yang dipelopori oleh tokoh KH. Hasyim As`ari yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), berhasil membangkitkan semangat jihad santri nusantara dalam mengusir penjajahan Belanda. 22 Oktober 1945 merupakan Ikhtiar dari gerakan jihad akbar santri.
Revolusi ini pula membakar para santri arek-arek Surabaya melawan tentara kolonial Belanda NICA yang dipimpin oleh AWS. Mallaby dalam peperangan yang besar selama tiga hari berturut (27-29 oktober 1945), yang pada akhirnya Malllaby tewas.
Gerakan Resolusi jihad ini pula mengilhami dan menyemangati Tentara Nasional Indonesia bersatu padu dengan para santri dalam mengusir penjajahan. Itu artinya TNI dan Rakyat (baca santri) kala itu menyatu. Saat ini kita tentu tidak menarasikan nostalgia akan eksistensi santri masa lalu dalam ruang hampa
Gerakan Resolusi jihad ini pula mengilhami dan menyemangati Tentara Nasional Indonesia bersatu padu dengan para santri dalam mengusir penjajahan. Itu artinya TNI dan Rakyat (baca santri) kala itu menyatu. Saat ini kita tentu tidak menarasikan nostalgia akan eksistensi santri masa lalu dalam ruang hampa.
Akan tetapi resolusi jihad menjadikan momentum sebagai gerakan membangun narasi mimpi besar dalam giat pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konteks Aceh potensi sumber daya santri sangat siknifikan, data santri dayah se-Aceh sebanyaj 231.423 santri, (sumber data Kabid PD Pontren Kanwil Agama Aceh per 31 Desember 2022) saat kami mengikuti rakor terpadu Ponndok Pesantren di Kabupaten Aceh Barat, 13 Maret 2023. Tentu ini bukan angka kalkulasi yang hampa. Jika dikapitalisasi dalam makna yang positif dalam kontek politik, ekonomi, sosial budaya dan pendidikan. Maka kalkulasi ini menjadi senjata pamungkas guna “merebut kekuasan” dalam pesta demokrasi 2024 yang akan datang.
Tentunya harus diakui, kalkulasi santri yang besar belum mampu mewarnai perubahan pundamental tatanan kehidupan masyarat Aceh yang berjulukan serambi mekkah.
Santri Dayah di Aceh terpolarisasi dalam beberapa organisasi sebut saja; Persatuan Ulama Dayah Inshafuddin, Himpunan Ulama Dayah (HUDA), Nahdlatul Ulama (NU), Ikatan Alumni Santri Dayah (ISAD), Rabitah Taliban (RTA) serta banyak organisasi lainnya tempat bernaung dan berkreasi santri dayah belum lagi Santri Dayah Modern yang memiliki ikatan alumni tersendiri.
Tentu kita tidak harus memaksakan komunitas santri dalam melakoni aktivitas sosial, kemasyarakatan, bahkan pilihan politik santri dayah harus sama. Pilihan boleh berbeda akan tetapi ruh dan idiologi pergerakan mestinya harus senafas.
Di samping itu juga warna manhaj santri dayah salafiyah (tradisional) di Aceh terbagi dalam berbagai jenis, sebut saja, Al Waliyah, Al Fata, Al Aziziyah, Darul Mu`arrif, Al Munawarah, Al Huda, Al Amiriyah. Manhaj ini punya tradisi yang berbeda, termasuk di dalamnya pakem kurikulum dayah serta budaya akademik Dayah termasuk budaya takzim kegure (baca cara cium tangan gure).
Maka dari itu untuk menyatukan kekuatan dayah di Aceh perlu upaya harmonisasi dan sinergisitas, termasuk didalamnya mendorong konsep “dayah bersaudara”, sehingga ragam manhaj dayah di Aceh saling menghargai dan saling berkolaborasi dalam berbagai giat aktifitas sosial keagamaan.
Alumni Santri Dayah Aceh wajib rebut kekuasaan
Meraih mimpi besar itu, tentu bukanlah sesuatu yang mustahil. Jika ada keinginan, maka tentu ada jalannya. Untuk itulah butuh sinergisitas lintas stakeholders.
Landasan idiologis yang tertanam pada Alumni santri dayah Aceh harus benar-benar dimamfatkan dengan baik. Jangan adalagi diksi agama dan politik dibenturkan, karena itu warisan kolonial Belanda.
Alumni santri dayah wajib terjun dalam bidang politik tentu harus disiapkan amunisi yang matang. Jangan apriori dengan politik, karena merebut kekuasaan dalam iklim demokrasi lewat instrumen politik.
Gagasan melakukan konsolidasi kebatinan antara sesama alumni dayah, santri dayah termasuk didalamnya pimpinan dayah se-Aceh harus dipelopori, jangan ada upaya pihak-pihak tertentu memecah belah manhaj alumni santri dayah.
Biarkan manhaj itu berjalan dengan harmoni, saling menhargai dan kurangi dosis perpecahan/konflik yang tidak produktif baik di dunia maya, maupun dunia nyata.
Tidak boleh ada lagi anggapan politik itu kotor, diksi yang dibangun kedepan oleh santri atau Alumni santri Dayah wajib kuasai semua lini seperti; Birokrat, Pengusaha, Politikus, Dosen, Guru, Gubernur, Bupati/Walikota, Banker, Hakim, Cendikiawan, TNI/Polri, Menteri hingga Presiden. Saatnya Alumni Dayah di Aceh mengantungkan cita-cita setinggi bintang dilangit.
Kekuasaan itu harus diraih tentu sesuai mekanisme konstitusi. Karenanya Alumni dayah Aceh tidak boleh lagi merasa paling hebat, akan tetapi harus terbuka dan elegan dalam menerima perubahan untuk kemajuan. Ilmu itu terus berkembang, karna itu jangan batasi diri dengan satu bacaan saja akan tetapi harus beragam bacaannya, supaya memperkaya khazanah keilmuan.
Pendalaman kajian kitab thurats harus benar-benar menjadi tradisi santri dalam setiap halaqahnya. Debat ilmiah dan menulis artikel hingga jurnal internasional harus benar-benar menjadi vitamin baru bagi Alumni dan santri dayah zaman now, jika tidak, kita cendrung menjadi lebih hebat dari orang lain.
Alumni Dayah dan santri harus senantiasa diasah ketrampilan menulis. Tentu proses kearah itu butuh komitmen bersama antara Disdik Dayah Provinsi, Disdik Dayah Kab/Kota, Pejabat teknis PD Pontren Kanwil Agama Aceh, Kasi PD Pontren Kanmenag Kab/Kota serta Pimpinan Dayah agar tidak terjadi benturan. Jangan lagi menganggap Santri dayah itu hanya belajar ilmu agama an sich. Santri dayah juga harus memiliki berbagai ketrampilan sesuai telentanya dan kebutuhan zaman.
Event Musaqah Qiraatil Kutub (MQK) Tingkat Kab/Kota, Provinsi dan Nasional mestinya menjadi agenda permanen Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota).
Dalam kontek inilah, Refleksi HSN ke-9 saya menawarkan beberapa pandangan antara lain:
Pertama: Santri, harus bersatu dalam melawan informasi hoax terkait kebijakan negara serta dalam menghadapi pesta demokrasi serentak 2024, termasuk pilpres, Pileg dan Pilkada
Kedua: Santri harus memiliki sifat pelopor kebaikan (safiqul khair). Dimanapun ia berada, santri harus menjadi pemantik pelopor kebaikan. Tuturkata, tindakan dan karakter sebagai pendakwah harus benar-benar dijalankan dengan baik. Semangat berbuat kebajikan harus dominan. Kurangi dosis saling mengklaim kebenaran apalagi menganggap diri paling benar dan hebat.
Ketiga: Santri harus berperan sebagai penerus ulama (nasibul `ulama). Santri merupakan kader ulama masa depan Aceh. Dengan kapasitas keilmuannya harus mewarnai seluruh sendi kehidupan bernegara.
Di sinilah butuh standarisasi dan pengakuan akan ijazah alumni dayah. Tidak mungkin kompetensi santri diakui jika ijazah yang dikeluarkan oleh dayah sebagai lembaga yang mencetak kader ulama belum memiliki legal standing. Karnanya pilihan program Satuan Pendidikan Muadalah (SPM) dan Pendidikan Diniyah Formal (PDF) mutlak diperlukan di Dayah Salafiyah (tradisional)
Oleh karenanya Dinas teknis dalam hal ini Dinas Pendidikan Dayah Kabupaten/Kota, Kabid/Kasi PD Pontren Kementrian Agama Provinsi, Kab/Kota mendorong agar dayah menerapkan kurikulum/silabus yang telah disusun oleh para Pimpinan Dayah yang kini menjadi konsensus bersama. Atawa Disdik Dayah Kabupaten/Kota harus mendorong penerapan Rencana Pembelajaran Semester Santri Dayah (RPS) dalam pemenuhan borang Akreditasi Dayah Aceh.
Keempat: Santri harus benar-benar menjadi pelopor dalam memberantas kemaksiatan dilingkungannya. Dimana dengan kapasistas ilmu yang diterimanya selama mondok di dayah/pondok pesantren, harus mampu menjadi insan yang tawadhuk, santun dan berbudi luhur.
Kelima: Setiap tindakan yang dilakukann santri dayah harus mendapat ridha Allah. Apabila keridhaan Ilahi telah diperolehnya maka akan ada keberkahan dalam segenap aktifitasnya. Jangan cari sensasi dengan perbuatan yang aneh-aneh agar terkenal, karna itu mencoreng almamater dayahnya.
Keenam: Ciri khas santri dayah di Aceh wajib kuasai kitab Thurats sesuai jenjangnya. Termasuk di Dayah Terpadu (Moderen) dan Dayah Tahfidz. Walaupun durasi waktu dan kemampuan kitab thuratsnya (dayah terpadu, dayah tahfidz) tidak sama kemampuannya dengan dayah salafiyah (tradisional).
Ketujuh: Patron kitab thurats yang diperlombakan di Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) level nasional sudah selayaknya diajarkan di dayah seluruh Kab/Kota. Ini menjadi penting agar santri dayah Aceh mampu bersanding dengan santri nusantara.
Kedelapan: Santri dayah di Aceh harus diajarkan ketrampilan, bakat dan minat termasuk ketrampilan pertanian, kewirausahaan, ekonomi kreatif, teknologi karnanya menjadi modal besar dalam mewujudkan Aceh Carong dan Meuadab.
Krue semangat. Selamat memperingati Hari Santri Nasional ke-9 (22 Oktober 2015- 22 Oktober 2023), Jihad Santri, Jayalah Negeri. Takbir.
*Penulis adalah Mantan Aktivis`98, Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Kota Banda Aceh, Fasilitator Dayah Ramah Anak Terintegrasi (Pro DAI) YaHijau, UNICEF, Ketua Komite Dayah Terpadu Inshafuddin periode 2023-2026, Mantan Ketua DPD Jaringan Nusantara Aceh, Mantan Sekjen DPP ISKADA Aceh, Mantan Ketua Umum Remaja Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Ketua Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah MW KAHMI Aceh periode 2022-2027, Presidium IKAHES UIN Ar-Raniry, Alumni Lemhannas Pemuda Angkatan I, Dosen FSH UIN Ar-Raniry, DPW Syarikat Islam Aceh, Fungsionaris KNPI Aceh