Oleh: Muhammad Syarif, SHI,.M.H*
Aceh merupakan wilayah yang telah dikenal sejak berabad-abad silam, bukan hanya sebagai pusat perdagangan dunia, tetapi juga sebagai pusat peradaban dan Ilmu Pengetahuan Islam di kawasan Asia Tenggara. Kuatnya sistem, tradisi dan pengetahuan keislaman di Aceh terlihat dari bertahannya nilai-nilai keislaman sebagai ruh pemerintahan kerajan Aceh Darussalam.
Fakta sejarah menunjukkan lembaga pendidikan Islam di Aceh dimotori oleh ulama dayah. Ketika Sultan Iskandar Muda memerintah kerajaan Islam Aceh Darussalam (1607-1637), dia memilih Syech Syam al-Din Al Sumatrani sebagai penasehatnya dan sebagai mufti yang lebih dikenal dengan Syech Al Islam, bertanggungjawab sebagai punggawa keagamaan dan urusan politik. Beliau juga pernah mengabdi pada Sultan Ali Mughayat Syah (1589-1602).
Berdasarka pengakuan James Lancaster, utusan khusus dari Inggris ke Aceh pada tahun 1602, menggambarkan dalam catatan perjalanannya bahwa seorang bangsawan “Chief Bishop” yang diperkirakan adalah Al Sumatrani yang terlibat dalam perundingan perjanjian perdamaian dan persahabatan antara Inggris dan Aceh.
Syekh Abdurrauf al-Singkili ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil Kerajaan Aceh Darussalam selama periode empat Ratu (1641-1699) memimpin kerajaan. Sultanah memilih ia sebagai mufti tajul Alam Safiatudin (1641-1675) istri dan pengganti Iskandar Tsani dan merupakan Ratu pertama. Sultanah berikutnya adalah Nurul Alam Naqiyatuddin, Inayah Syah Zakiyatuddin. Sultanah ini memimpin kerajaan Aceh selama 10 tahun. Setelah mangkat diganti anaknya Keumalat Syah sebagai sultanah keempat dan terakhir dalam memimpin kerajan Islam Aceh yang memimpin 10 tahun yang akhirnya dimakzulkan pada tahun 1699.
Syekh Abdurrauf al-Singkil yang dikenal dengan sebutan Tgk. Syiah Kuala, terlibat aktif dalam memberikan fatwa dan penyelesaian sengketa politik internal kerajaan Islam Aceh kala itu. Al Singkili mengabdi selama 50 tahun dibawah kepemimpinan Sultanah (Raja Wanita). Namanya menjadi simbol otoritas ulama Aceh. Sebagaimana sering disebut-sebut dalam hadih maja: “Adat Bak Poetemeurehom, Hukom Bak Syiah Kuala (adat urusan raja, agama urusan ulama).
Ulama Dayah disamping sebagai penasehat raja juga berfungsi sebagai penyelesaian urusan konflik politik dan perantara masyarakat desa dengan daerah luar. Ulama Dayah juga sangat berperan dalam pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam hingga manca negara. Karya-karnyanya diakuni dunia. kitab Mir`at al-Tullah karya Syekh Al Singkili menjadi kitab standar pengkajian hukum Islam di Mangindano, Philipina hingga abad ke-19. Karyanya bidang Tauhid, Fiqih, Tafsir, Sejarah, Sastra dan Tasawuf juga menjadi referensi dunia. Hamzah Fansuri, Nurdin Ar-Raniry, Syamsuddin Al Sumatrani adalah Ulama Dayah yang begitu mashur dimasa kerajaan Aceh Darussalam.
Nurdin Ar-Raniry misalnya menulis 29 Kitab dalam berbagai aspek disiplin ilmu diantaranya Fiqih, hadits, tasawuf, sejarah dan perbandingan agama. Tgk. Syiah Kuala banyak melahirkan karya dalam berbagai disiplin ilmu. Tidak kurang dari 36 karyanya menjadi kajian keilmujan Islam di level dunia.
Bahkan Wan Mohd Saghir Abdullah, ulama Riau mengoleksi 25 kitab yang ditulis oleh Tgk. Syiah Kuala dalam bidang tafsir, fiqih,ilmu kalam, tasawuf. Salah satu Profesor di Koninklijke Institute, Leiden mengakui keilmuan Tgk, Syiah Kuala.
Ulama Aceh yang lahir dari rahim dayah ini pula menyebarkan ilmunya ke dunia melayu seperti malaysia, singapura, thailand hingga Turki. Tentunya kalau kita mencoba berimajinasi betapa mashurnya ulama dayah kala itu. Ia disegani, dihargai dan di takuti penjajah (Belanda, Jepang).
Saat perang Aceh Belanda berkecamuk, ulama dayah berada pada garda terdepan dalam memompa semangat rakyat Aceh disaat Raja dan Uleebalang kehabisan amunisi dalam menghadapi agresi Belanda. Guna memompa semangat gelora perjuangan, Ulama Dayah menyeru gelora jihad melawan Belanda yang dikenal dengan “teori Islam perang suci”. Ulama Dayah menyebutnya Belanda sebagai kafir al harb, maka perang melawan Belanda wajib hukumnya. Siapa yang gugur dalam perang disebut syahid dan masuk surga. Salah satu ulama dayah terkenal memimpin perang melawan Belanda adalah Tgk.Chiek Di Tiro, nama Aslinya Tgk. Muhamamd Saman. Oleh Belanda kala itu dikenal sebagai figur yang paling berpengaruh dalam menentang Belanda. Sangking geramnya Belanda memberikan hadiah 1000 dolar bagi yang sanggup menangkap atau membunuh Tgk. Chik Di Tiro, hidup atau mati. Tgk Chik Pante Kulu, teman dekan Tgk. Chik Ditiro menulis Syair Hikayat Perang Sabi. A.H. Philip Gubernur Belanda di Aceh menukilkan dalam memoarnya Hikayat Perang Sabi ini membuat masyarakat Aceh bersemangat dalam mengusir penjajahan, mendorong mereka (masyarakat Aceh) mati syahid. Betapa dahsyatnya pengaruh syair ini. Saat Tgk. Chik Di Tiro gugur dalam medan perang Tgk. Chik Kuta Karang melanjutkan gerilya melawan Belanda.
Peran Ulam Dayah dalam melawan penjajahan dan menyebarkan ilmu agama tidak dapat dipungkiri. Itu artinya ada banyak saham ulama dalam menjaga keutuhan negara. Ulama Dayah juga melakukan gerakan pembaharuan dengan mendirikan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di Tahun 1939.
PUSA ini kemudian menjadi organisasi ulama yang solid dalam menentang penjajahan Belanda, PUSA mempunyai cabang di semua Wilayah di Aceh. PUSA juga melahirkan kader pemuda yang militan dalam menentang penjajahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka Ulama Dayah juga mendukung berbagai kebijakan negara. Betapa dahsyatnya pengaruh ulama dayah tempo dulu. Akankah kejayaan Ulama Dayah di Aceh kembali bangkit? Wallahu `alam
*Penulis adalah Sekjend DPP ISKADA Aceh, Ketua Remaja Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dua peride (2006-2012), Wakil Ketua DPD BKPRMI Banda Aceh, Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Banda Aceh, Dosen Legal Drafting Prodi Hukum Tata Negara UIN Ar-Raniry, Direktur Aceh Research Institute (ARI)