Oleh : Teungku Boihaqi
Ketukan pintu bilik membangunkan kami yang sedang tidur nyenyak. Malam itu kami memang sempat ketiduran karena lelah. Setiap Selasa malam, setiap mata pelajaran memang menguras pikiran.
Suara ketukan tiba-tiba terdengar dibalik pintu.
“Pakon awak droe hana ka meu-ulang? Gadoh ka eh! Peu hana kateupeu nyoe watee wajeb meu-ulang? (kenapa kalian tidak mengulang? Malah asyik tidur? Apa kalian tidak tahu ini lagi waktu wajib untuk mengulang pelajaran?!” bentak seorang teungku sembari membuka pintu.
Seperti diketahui, dayah atau pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di nusantara. Aceh menjadi salah satu sumber penghasil santri terbanyak di Indonesia. Bahkan, telah banyak santri Aceh ikut mengharumkan nama bangsa Indonesia, baik kancah nasional maupun internasional.
Salah satunya adalah Dayah Baitul Wusqa Al-Azziyah Lampoh Shuta, desa Sinthop Kecamatan Mila, Kabupaten Pidie. Dayah ini dipimpin oleh Teungku Imam Zaini.
Di lingkungan dayah, pendidikan non-formal masih terawat dan terjaga. Salah satunya adalah belajar kitab kuning. Ba’da salat subuh berjamaah, santri diwajibkan ikut pengajian kitab Sirus Salikin maksimal 30 menit.
Arah jarum jam menunjukkan pukul 06.30 WIB, meandakan pengajian Subuh selesai. Aktivitas santri pun beragam, ada yang berangkat sekolah, kuliah, bekerja atau lain-lainnya.
***
Tepat pukul 18.10 WIB. Saya bergegas menuju ke dayah. Meski agak melelahkan, bukanlah menjadi alasan untuk tidak menimba ilmu di malam hari.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar…” suara merdu azan Magrib terdengar setelah saya tiba di dayah.
“Alhamdulillah saya tidak telat malam ini,” gumamku dalam hati.
Di kalangan santri dayah, adab merupakan salah satu hal penting dan berpengaruh. Ini menandakan awal dari keberhasilan santri dayah dalam menuntut ilmu agama. Harus hadir sebelum azan Maghrib berkumandang adalah adab dan salah satu peratura dayah yang harus dipatuhi.
Usai salat Magrib dan dilanjutka zikir bersama, tak lama kemudian lonceng berdentang. Jarum jam menunjukkan pukul 19.30 WIB, menandakan jadwal mengaji malam baru saja dimulai.
Saya pun bergegas mengambil kitab, buku dan perlengkapan mengaji lainnya langsung menuju balai pengajian. Berhubung ini Minggu malam, kami hanya belajar kitab Al Bajuri, Nahwu dan Tasawuf.
Waktu pengajian dimulai dari pukul 19.30 hingga 22.00 WIB. Kami diwajibkan melaksanakan salat Isya berjamaah sampai pukul 22.30 WIB.
Usai melaksanakan pengajian rutin malam, kami melaksanakan aktivitas baru, yakni meu-ulang.
Meu-ulang adalah tradisi ulangkaji mata pelajaran yang sudah pernah dipelajari sejak awal. Bagi saya pribadi, “meu-ulang”bermakna memperdalam lagi ilmu yang telah dipelajari. Biasanya titik fokusnya pada kitab-kitab Nahwu dan Sharaf. Bagi santri dayah, kitab-kitab ini merupakan cara untuk mencapai keberhasilan dalam membaca kitab kuning.
Awwamil, Jarumiyah, Matan Bina, dan Tashref tersusun rapi tepat di atas balai pengajian tepat disamping saya duduk.
Hafalan teman-teman dari seberang terdengar nyaring dari seberang bilik. Ada juga yang meu-ulang di atas balai pengajian, mushalla ataupun di taman-taman.
“Al fashlul khamsatu hurufun tansibul fi’lal muzharia. Wa hiya arba’atu ahrufin,” perlahan-lahan saya menghafal salah satu kitab yang sedang saya pegang.
Malam semakin gelap pekat. Mata semakin berat. Tak terasa jarum jam menunjukkan pukul 00.00 WIB. Waktu meu-ulang pun habis. Saya dan rekan-rekan kembali menuju bilik masing-masing untuk beristirahat.
Bagi setiap santri, meu-ulang bukanlah sesuatu yang aneh. Kegiatan ini hampir setiap malam dilakukan. Bahkan di setiap dayah yang ada di Aceh, tradisi meu-ulang sudang menjadi kegiatan rutinitas santri dayah. []
Penulis adalah peserta pelatihan jurnalistik santri yang diinisiasi oleh Dinas Pendidikan Dayah Aceh Tahun Anggaran 2018. Tulisan ini pernah dimuat pada majalah Dayah Kita.