Menguatkan Dayah Tradisional, Menjembatani Tradisi Dan Formalitas

Oleh Bung Syarif*

Dayah tradisional atau sering disebut sebagai dayah salafiyah, adalah benteng keilmuan Islam yang telah mengakar di Nusantara, khususnya di Aceh. Institusi ini menjadi salah satu penjaga tradisi Islam klasik yang diwariskan oleh para ulama besar. Namun, dalam era modern ini, dayah tradisional dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana tetap relevan tanpa kehilangan jati diri?

Persoalan utama yang sering menjadi diskursus adalah legalitas ijazah lulusan dayah tradisional. Dalam sistem pendidikan formal nasional, ijazah merupakan dokumen yang sangat diperlukan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau memasuki pasar kerja. Selama ini, ijazah dari dayah tradisional kerap dianggap kurang memiliki pengakuan formal, meskipun kualitas keilmuan lulusannya tidak diragukan.

Untuk menjawab tantangan ini, program Pendidikan Diniyah Formal (PDF) dan Satuan Pendidikan Muadalah (SPM) hadir sebagai solusi. Program ini memberikan legalitas pada ijazah yang dikeluarkan dayah tradisional, sehingga lulusannya dapat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi atau bersaing di dunia kerja. Kehadiran Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren juga menjadi landasan hukum yang memberikan angin segar bagi dayah.

Namun, tidak semua pimpinan dayah menyadari atau siap mengadopsi program ini. Ada kekhawatiran bahwa mengikuti regulasi formal akan menggerus keautentikan tradisi keilmuan dayah. Padahal, PDF dan SPM dirancang agar dayah dapat tetap mempertahankan pola pendidikan berbasis kitab kuning dan tradisi pengajaran khasnya. Dalam hal ini, pemerintah perlu aktif melakukan edukasi dan pendampingan agar program ini diterima secara luas oleh komunitas dayah.

Di Aceh, langkah-langkah positif telah terlihat. Berdasarkan data terbaru, jumlah dayah yang telah mendapatkan izin SPM dan PDF terus meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pimpinan dayah mulai memahami pentingnya legalitas formal tanpa harus meninggalkan identitas mereka. Contohnya, beberapa dayah di Banda Aceh telah berhasil mengikuti program ini, membuka peluang besar bagi santrinya untuk lebih kompetitif di tingkat nasional maupun internasional.

Selain itu, untuk memenuhi rukun-rukun dayah seperti keberadaan teungku dan tenaga pengajar yang kompeten, jumlah santri yang memadai, asrama, mushalla, dan kajian kitab kuning, dayah perlu terus berinovasi. Keseimbangan antara mempertahankan tradisi dan beradaptasi dengan kebutuhan zaman adalah kunci keberhasilan. Pemerintah daerah juga dapat memainkan peran penting dengan memberikan insentif dan fasilitasi agar lebih banyak dayah mau bertransformasi.

Dayah tradisional adalah warisan yang harus dijaga dan dikembangkan. Transformasi legalitas bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk memperluas peran dayah sebagai lembaga pendidikan yang tidak hanya berbasis agama, tetapi juga berdaya saing. Dengan pendekatan yang tepat, dayah dapat terus menjadi pilar pendidikan Islam yang kokoh dan relevan, menjembatani tradisi dan formalitas di tengah perubahan zaman.

**Penulis Magister Hukum Tata Negara USK, Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Banda Aceh, Ketua Komite Dayah Terpadu Inshafuddin (DTI), Fasilitator (Pro DAI) Unicef-YaHijau, Dosen Legal Drafting FSH UIN Ar-Raniry, Mantan Sekjen DPP ISKADA Aceh, Mantan Ketum DPD Jaringan Nusantara Aceh, Mantan Ketum Remaja Masjid Raya Baiturrahman, Pengurus ICMI Kota Banda Aceh, dan PW Syarikat Islam Aceh