Oleh Bung Syarif*
Maraknya tindakan kekerasan di lembaga pendidikan membuat banyak kalangan ikut prihatin. Budaya kekerasan sudah mewarnai lembaga yang selama ini memproduksi calon pemimpin masa depan bangsa. Sekolah Umum, Madrasah, Islamic Boarding School, Dayah, Sekolah Pavoritpun kini tidak luput dari potensi kekerasan. Baik dilakukan oleh sesama siswa/santri, senior ke junior, guru kesiswa/santri atau sebaliknya. Ragam tindakan kekerasan juga berbeda-beda sebut saja; kekerasan pisik, psikis, kekerasan seksual, perundungan dan lain-lain.
Banyak kini orang tua was-was dalam memilih Sekolah, Pesantren (Dayah), Madrasah yang relatif aman dari tindakan kekerasan. Diberbagai media Televisi dan Media Massa akhir ini seringkali memberitakan problem tindak kekerasan di Sekolah, Pesantren dan Madrasah. Hingga membuat praktisi pendidikan nasional geram dan melontarkan isu Indonesia “darurat kekerasan di lembaga pendidikan”.
Lantas apakah di Aceh zero tindak kekerasa di lembaga pendidikan? Tentu jawabannya tidak. Di Tahun 2023 saat kami sedang mengikuti Pelatihan Fasilitator Program Dayah Ramah Anak Terintegrasi (Pro DAI) yang menjadi program unggulan Yayasan Aceh Hiaju-UNICEF, saya mendapat kabar duka, salah seorang keluarga kami Anak Cek Yusuf di pukul senior di sebuah dayah ternama Aceh Besar, hidungnya patah sehingga harus dioperasi di RSUD Meuraxa Kota Banda Aceh. Saat kami coba SMS pimpinan Dayahnya yang juga salah seorang dai kondang Aceh kurang responsif. Kami kesal, akan tetapi untung emosi masih terkontrol dan masih kami hargai sebagai salah seorang tokoh ulama Aceh Besar karna pernah memimpin lembaga MPU Aceh Besar, kalau tidak sudah runyam jika adrenalin dan jurus mabuk hukum dimainkan.
Ini adalah keprihatinan mendalam kita semua. Saya menambah geram saat lembaga pendidikan bercirikhas agama Islam wabil khusus dayah leksikon tindak kekerasan juga terjadi. Kita juga disuguhkan informasi di salah satu SMA unggul Aceh, siswa senior menghajar juniornya yang berunjung pada pelaporan orang tua pada Kepolisian. Orang tua siswa tidak menerima anaknya diperlakukan tidak manusiawi oleh seniornya. Kita juga disuguhkan adanya pelecehan sodomi di salah satu dayah di Wilayah Aceh Besar. Tentu ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kasus tindak kekerasan dengan berbagai modelnya ibarat gunung es.
Alhamdulillah sejak kami ditugaskan negara sebagai salah satu punggawa dayah di Tahun 2016 hingga sekarang belum menerima laporan yang aneh-aneh separah kasus yang terjadi di Aceh Besar, yang pada akhirnya anaknya pindah sekolah, dayah. Ademnya kasus tindak kekerasan di lingkungan dayah yang ada di Banda Aceh, patut kita syukuri dan pertahankan
Baru-baru ini saat kami ikut Giat FGD tindak kekerasan di Sekolah, Madrasah dan Dayah yang dilaksanakan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Banda Aceh. Salah seorang narsumnya adalah seorang politisi Partai Amanat Nasional Dr. Musriadi Aswad, M.Pd, ia curhat terkait anaknya yang dihajar senior/kolega di Sekolahnya, lagi-lagi kasus ini terjadi di Wilayah Aceh Besar, jika di kasus terjadi di Banda Aceh wabil khusus dayah tentu berguncang “arasy”. Apalagi yang mulia kini menduduki Anggota DPRK yang membidangi pendidikan di Kota Banda Aceh. Ia juga sebagai mantan aktivis dan bertugas di Komisi IV DPRK Banda Aceh. Ia curhat dan ikut meradang di forum tersebut. Dengan lugas ia berkata kalau terjadi di Banda Aceh tentu runyam, kamipun kalang kabut menghadapi kegeramannya. Sosok politisi yang kritis dan selalu menukik jika sidang di parlemen Kota Banda Aceh.
Tindak kekerasan yang terjadi di Sekolah, Madrasah dan Dayah jangan dianggap sepele, akan tetapi perlu dicari solusi cantiknya. Karna itulah program Dayah Ramah Anak, Sekolah Ramah Anak dalam pendekatan Disiplin Positif (Dispo) salah satu solusinya. Diantara banyak solusi lainnya.
Dispo membuka cara pandang baru, memberikan penguatan kepada warga sekolah, madrasah dan dayah terhadap pentingnya kesadaran dan konsekuensi logis atas tindakannya. Konsep berkeadaban, bermoral, beretika dan win win solution menjadi jalan tengah dalam menyelesaikan berbagai problem yang terjadi di lingkungan lembaga pendidikan. Untuk itu kami menawarkan konsep sederhana dalam mengatasi tindak kekerasan di Sekolah, Madrasah dan Dayah antara lain;
Pertama: Memberikan penguatan materi Disiplin Postif bagi mitra sukses pelaku pendidikan mulai dari guru/ustadz/ustazah, unsur pimpinan, manajemen, siswa/santri, satpam, penjaga kantin, guru pengasuh asrama, wali kelas, Kepsek serta pihak-pihak yang bersentuhan dalam dunia pendidikan.
Kedua: Tidak memberi peran berlebihan kepada senior, apalagi memberikan porsi penghukuman dengan berbagai jargon “mahkamah penghukuman” atau jargon lain. Dimana ada kesan senior bisa menghukum junior jika berbuat salah, hal ini akan membuat lahirnya jiwa dan mental penindas di kalangan Sekolah, Madrasah dan Dayah. Bahasa sederhananya akan membuka tradisi balas dendam antara senior dan junior.
Ketiga: Tenaga Pendidik harus paham betul 4 pakem kompetensi seorang guru meliputi; kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial serta selalu membuka ruang dialog yang inten dengan siswa/santri dengan pendekatan penuh kasih sayang, kekeluargaan bila ada gejala atau potensi yang tidak baik (tidak tepat), jangan dibiarkan akan tetapi langsung diatasi sehingga tidak membesar potensinya.
Keempat: Memberikan rasa aman kepada seluruh santri/siswa atas setiap informasi yang disampaikan jangan malah sebaliknya. Buat suasana santri merasa nyaman, tenang dan bahagia jika berhadapan dengan guru pengasuh/bimbingan konseling
Kelima: Buat tim satgas pengawasan tindak kekerasan di Sekolah, Madrasah dan Dayah. Dan lakukan pengawasan yang kontinue serta evaluasi secara berkala. Yang paling penting tim satgas yang dibentuk dilatih materi cara mengatasi problem anak dengan menghadirkan tenaga profesional dibidangnya. Stok tenaga ini ada di Dinsos Aceh atau Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi/Kab/Kota. Tingga di Komunikasi saja dengan pejabat teknis yang membidanginya
Keenam: Buat kegiatan yang menghibur dengan melibatkan siswa/santri senior dan junior dalam satu tim pelaksana. Kuatkan kebersamaan yang dipandu khusus guru yang berpengalaman dan disukai santri/siswa. Sebisa mungkin dalam setiap giat di Sekolah, Madrasah dan Dayah tidak muncul kasta senior dan junior.
*Penulis adalah Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Kota Banda Aceh, Ketua Komite Dayah Terpadu Inshafuddin, Fasilitator Program Dayah Ramah Anak Terintegrasi (Pro DAI) YaHijau-UNICEF, Mantan Aktivis`98, Alumni Lemhannas Pemuda Angkatan I, Aktivis Lembaga Bantuan Hukum, Dosen FSH UIN Ar-Raniry, Ketua Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah MW KAHMI Aceh periode 2022-2027