Oleh :Tgk. BUSTAMAM USMAN, SHI, MA (Ketua Umum DPP ISAD Aceh/ Ketua Komisi B MPU Kota Banda Aceh)
Allah Swt telah mengingatkan secara jelas pentingnya mempersiapkan generasi muda yang kuat dalam berbagai sisi. Khususnya yaitu kuat pemahaman mereka terhadap Syari’at Islam. Oleh karena itu, menyiapkan generasi muda yang memahami Syari’at Islam merupakan sesuatu yang tidak diragukan lagi urgensitasnya.
Mari perhatikan ayat Allah Swt ini: “Dan hendaklah orang-orang takut kepada Allah, bila seandainya mereka meninggalkan anak-anaknya, yang dalam keadaan lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar”. (an-Nisa’: 9).
Hal ini diperkuat oleh pernyataan Umar bin Khattab, “Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu,”. Pesan yang sungguh singkat dan mudah diingat. Sementara di sisi lain, dengan ilmu lah Islam bisa hidup dan terus berkembang. Oleh sebab itu, menyiampkan generasi muda yang memahami Syari’at Islam, satu-satunya jalan adalah lewat jalur pendidikan.
Realitas hari ini
Fenomena hari ini, konsekuensi dari korelasi antara kegagalan pemahaman syari’at Islam yang belum memadai yang diajarkan kepada remaja, maka lembaga pendidikan harus mengajarkan pendidikan yang benar yang sesuai dengan semangat Islam.
Banyak generasi muda yang tidak terjangkau pendidikan Islam sehingga mereka menjadi lahan empuk bagi pemahaman-pemahaman di luar Islam. Jumlah mereka lebih banyak dari banyak yang terjangkau pendidikan islam sehingga lahirlah fenomena arus kejahilan yang mewarnai perilaku dan menjadi arus yang kuat dan tidak mampu dikontrol oleh arus yang benar (Islam). dan realitas ini mempengaruhi semua aspek dan tatanan kehidupan.
Tanpa pemahaman yang kuat para remaja terhadap Syari’at Islam, maka ini akan memberi dampak terhadap kerusakan bangsa di berbagai sendi kehidupan. Sebagai contoh, kenapa hari ini kita menjadi negara yang korup, tidak amanah dan keburukan-keburukan lain? Ini disebabkan orientasi hidup yang Islami tidak terwujud dalam kehidupan muslim. Berbagai kerusakan dalam tatanan kehidupan bangsa dan negara terjadi di saat orang Islam melupakan akhirat, melupakan Allah, dan melupakan hal-hal ghaib yang ada dalam rukun Iman.
Dalam artian, rukun iman dan Islam tidak mampu mempengaruhi kehidupan dan perilaku. Efeknya, berakibat pada munculnya gaya hidup yang materialis dan konsumtif, dan dengan menghalalkan segala cara yang pada akhirnya akan menggirinng pada sebuah perilaku yang menghilangkan budaya jujur dan amanah, rasa malu dan lain-lain. Sesungguhnya, inilah penyebab utama kehancuran sebuah bangsa, Inilah akarnya. Maka pendidikan generasi muda harus menyeluruh memperoleh pendidikan fardhu ‘ain yang dengan standar memadai.
Selanjutnya, generasi sebelum generasi remaja ini (generasi gagal syari’at) juga tidak bisa diabaikan, karena diharapkan dari penggiringan generasi tersebut menjadi fungsi kontrol bagi generasi muda. Dalam hal ini, harus hadir sebuah kekuatan baru yang terjun menangani persoalan ini.
Pada titik ini, disinilah perlunya keterlibatan pemerintah. Pemerintah tidak boleh hanya menyerahkan urusan ini kepada para sukarelawan. Mereka niscaya harus menyukseskan agenda ini serta menjadikannya sebagai target standar kesuksesan pembangunan pemerintah. Jadi kalau bidang ini, yaitu memahamkan generasi muda tentang Syari’at Islam, kalau bidang ini gagal maka pemerintah harus dianggap gagal, sebab pembangunan sesungguhnya bukan hanya membangun infrastruktur. Pembangunan paling penting adalah pembangunan generasi mudanya.
Seorang pemimpin di wilayah mayoritas mulimin, meskipun bukan negara Islam maka dia tetap diwajibkan merealisasikan tujuan-tujuan syari’at Islam. Apalagi pada sebuah wilayah yang secara resmi memberlakukan syari’at Islam, seperti di Aceh. Penguasa jangan hanya melihat pendidikan dan upaya memahami Syari’at Islam kepada generasi muda hanya tugas para ulama saja. Namun ini harus menjadi tolak ukur indikasi kesuksesan atau kegagalan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah.
Ada cara pandang yang harus diubah, bahwa pemerintah gagal bukan hanya gagal bukan di bidang ekonomi. Pemerintah juga harus dianggap gagal jika gagal dalam menyukseskan agenda penegakan Syari’at Islam, khususnya dalam konteks ini yaitu jika gagal dalam memahamkan generasi muda akan syari’at Islam serta membentuk loyalitas mereka terhadap hukum Allah tersebut.
Saya usulkan, bila perlu buat survey soal kegagalan Syari’at seperti kita juga membuat survey kegagalan bidang ekonomi. Bukankah kegagalan akidah atau syari’at Islam itu lebih beresiko ketimbang kegagalan ekonomi?
Sementara itu, berkaitan dengan hadis, kadal faqru an yakuuna kufran (hampir-hampir kemiskinan membawa kepada kekufuran), hal tersebut adalah faqru (kemiskinan) dalam dunia dan akhirat sekaligus. Jangan dipahami hanya kemiskinan dalam konteks harta benda duniawi. Buktinya banyak orang-orang faqir di masa generasi awal Islam yang tetap menjadi pejuang dan pahlawan kebangkitan peradaban Islam meksipun mereka itu faqir harta.
Miskin akidah dan miskin eknomi adalah persoalan. Sementara miskin ekonomi dan kaya akidah tidak akan menjadi masalah besar. Begitu juga sebaliknya, orang yang kaya harta namun miskin akidah, mereka ini akan menjadi masalah besar dan bahkan menjadi kufur nikmat. Perhatikan ayat Allah Swt berikut ini: “Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran). Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata, “Kami akan diberi ampun.”[QS. al-A’raf: 168].
Tugas ulama dan pemerintah
Lalu dimana tugas ulama dalam memberikan pemahaman Syari’at Islam kepada generasi muda? Tugas ulama adalah memasarkan ilmu, sementara tugas pemerintah memfasilitasi pemasaran ini ke semua lini. Kita membayangkan, sekiranya pemerintah bersemangat dalam memerangi kejahiliyahan menghidupkan syari’at seperti semangatnya mereka dalam pemilu, yakni mencari orang sampai ke pelosok, maka syari’at pasti akan jalan dan hidup. Seharusnya kita bisa belajar dari sejarah, dimana kejayaan Aceh dulu memposisikan “ulama sebagai perencana pembangunan”, bukan “pihak yang direncanakan” sebagaimana realitas hari ini sehingga agenda-agenda pembangunan berbasis Islam menjadi terabaikan.
Dalam agenda bekerja keras mendidik generasi muda akan pemahaman Syari’at Islam, pemerintah tidak boleh hanya beralasan terkendala regulasi dalam mewujudkan permbinaan-pembinaan dalam skala yang luas. Realitasnya, hari ini kalau kita bicara tentang membangun sistem Syari’at Islam, lalu ini dikatakan bertentangan dengan hukum atau undang-undang, dengan kata lain bahasa yang biasa kita dengarkan adalah “tidak ada undang-undang”, padahal kalau kita perhatikan, justru undang-undang yang ada adalah mendukung syari’at Islam.
Kita seharusnya betul-betul memahami, bahwa jauh lebih penting menyiapkan orang-orang agar tidak dihukum ketimbang menghukum orang-orang yang tdk pernah dididik. Maksudnya, didiklah manusia agar tidak menjadi sasaran hukuman. Bangunlah akhlak mereka, perilakunya. Sasaran hukuman adalah bagi mereka yang tidak efektif dengan pendidikan. Jangan sampai menghukum manusia atas kesalahan mereka yang itu terjadi karena kesalahan kita yang tidak memfasilitasi pendidikan mereka.
Maka disinilah pentingnya amar makruf dengan jalan amar makruf itu sendiri. Pembinaan generasi muda yang memahami Syari’at Islam bisa dilaukan antara lain, yaitu dengan ta’lim, tau’idz (mauidhah), mengancam (takhsyin), kemudian baru hukuman (ta’zir). Jadi, pendekatan-pendekatan pendidikan yang manusiawi adalah sarana palinng efektif dalam mendidik generasi muda. Kaidah mengatakan, pencegahan harus dilakukan lebih dahulu (ad-daf’a aula minarrafa. Maksudnya, mencegah (preventif) harus lebih utama dari menindak. Maka dalam kondisi bangsa yang carut marut seperti ini, membina generasi muda dan mendidik mereka dengan Islam adalah suatu keniscayaan. Inilah antara lain tugas besar dari para pemimpin. Wallahu a’lam bishshawab.