Oleh: Imam Shamsi Ali*
Al-Quran memberikan deskripsi lengkap tentang siapa manusia itu. Salah satu deskripsi tentang manusia dalam Al-Quran adalah bahwa manusia itu dengan segala kelebihannya memilki kelemahan-kelemahan. Dari manusia yang terbatas, lemah, berkeluh kesah, cepat manyalahkan, self praising (muji diri sendiri), dan lain-lain.
Salah satu kelemahan manusia di tengah kelebihan dan kemuliannya itu adalah bahwa manusia itu memiliki sifat tergesa-gesa dalam segala hal. Sifat atau karakter ketergesahan ini dalam bahasa Al-Qurannya disebut “ajuula”. Seperti firmanNya: “wa kaanal insaanu ajuula”.
Dan satu di antara ketergesah-gesahan manusia adalah bahwa manusia sering tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan atau cenderung cepat menghakimi (judgmental). Tergesa menghakimi sesuatu atau orang lain, bahkan dirinya sendiri. Bahkan tidak jarang bersegera menghakimi Tuhan karena suatu hal.
Ketergesh-gesahan dalam mengambil kesimpulan ini juga dikenal dengan sikap kepanikan (panic). Sikap panik ini lebih didorong oleh rasa khawatir atau ketakutan berlebihan (over worried) terhadap sesuatu.
Umumnya “over worries” ini terjadi karena manusia tidak memiliki pegangan yang solid dan pasti dalam hidupnya. Dalam mata iman, pegangan yang pasti dan solid itu adalah “al-iman billah” (keyakinan yang sungguh-sungguh dengan Allah, sang Pengendali alam semesta).
Pegangan seperti itu dalam bahasa Al-Quran lebih populer dengan istilah “al-Urwatul Wutsqo”. Sebagaimana Allah SWT menyebutkan dalam KalamNya di Surah Al-Baqarah ayat 226: “faman yakfur bitthoghuut wa yu’min billah faqadistamsaka bil-urwatil wutsqo”
Selama manusia masih kehilangan pegangan ini dan berpijak pada pijakan-pijakan yang tidak pasti, dan selain Allah pastinya tidak pasti, manusia akan terombang-ambing dalam kebingungannya (confused). Di siniah mereka akan terjatuh ke dalam prilaku “ajuula” (tergesa-gesa dalam menghakimi atau judgmental) tadi.
Di tengah merebaknya Covid 19 saat ini, sebuah pandemic yang bersifat global dengan penyebaran yang “beyond comprehension” (di luar rasionalitas) menjadikan banyak orang menjadi “ajuula”. Hal itu nampak dalam prilaku manusia hampir dalam segala aspek kehidupannya.
Mulai dari persepsi yang terbangun, dengan bantuan media yang terbuka, virus Corona ini begitu sangat mencekam. Manusia menjadi ketakutan berlebihan sehingga hidupnya seolah terbayang-bayang oleh ancaman kematian di hadapan matanya. Padahal kematian itu memang ada di hadapan mata setiap orang.
Banyak kemudian yang jatuh sakit, bukan karena Corona, tapi lebih kepada ketakutan berlebihan. Akibatnya gaya hidup menjadi tidak normal. Termasuk susah tidur misalnya. Akibatnya sistim Kekebalan tubuh menjadi turus drastis dan karenanya mudah terjatuh sakit yang sesungguhnya. Termasuk mudah terjangkiti tanda-tanda Corona, termasuk batuk, filek, bahkan demam.
Ketakutan berlebihan itu juga menjadikan manusia cepat menghakimi setiap gejala pada diri dan manusia sekitarnya sebagai gejala “Covic 19”. Di kota New York misalnya saat ini telah masuk musim semi. Di musim ini banyak warga yang terjangkiti alergi polen. Yaitu alergi diakibatkan oleh tumbuhnya kembali daun-daunan dan bunga.
Alergi ini biasanya ditandai oleh gatal-gatal di mata, hidung, tenggorokan, dan lain-lain. Ketergesahan dalam menghakimi mengakibatkan tidak jarang orang yang batuk atau hidung mempet karena alergi tadi, dengan serta merta disimpulkan sebagai korban virus Corona. Terjadilah kekhawtiran di atas kekhawatiran itu.
Yang lebih parah lagi adalah ketika manusia dengan cepat menghakimi orang lain sebagai pasien Corona hanya karena ras atau etnisnya. Di beberapa negara Barat, termasuk Amerika, saat ini orang-orang Asia, khususnya China, menjadi target “rasisme ” akibat Corona ini.
Saya teringat kembali pasca 9/11 di tahun 2001 lalu. Betapa orang-orang Amerika dan Barat umumnya cepat menghakimi warga Muslim Sebagai teroris. Begitu seseorang dikenal Muslim, mungkin karena Salamnya, atau karena pakaiannya, orang-orang sekitarnya akan merasakan kekhawatiran dan ketakutan.
Kalau di masa lalu warga Muslim biasa diteriaki seperti “Bin Laden” atau “terroris”. Saat ini warga Asia khususnya China diteriaki “Corona, Corona”.
Betapa tidak, Corona memang saat ini telah menggantikan Islam sebagai ancaman global. Kini semua orang melihat bahwa Corona telah hadir menjadi ancaman global yang menakutkan.
Karenanya, bagi saya, saatnya sekali lagi Islam akan kita tampilkan sebagai alternatif solusi. Karena sejatinya memang Islam itu harus menjadi solusi di tengah kebigungan manusia.
Di saat manusia baru membicarakan cara menghindari penularan Corona. Islam sejak dahulu kala telah menyampaikan, bahkan telah menjadikannya sebagai pegangan hidup sehari-harinya. Salah satu dk antaranya adalah bahwa Umat Islam itu mencuci tangan, wajah, hidung, dan lain-lain minimal 5 kali sehari semalam.
Bahkan lebih penting lagi, menjaga kebersihan itu memang adalah bagian dari keimanan kita. Tinggal apakah Umat ini sadar dengan agamanya. Agama tidak lebih dari sekedar slogan yang dibanggakan pada waktu-waktu tertentu. Itu tantangan yang nyata bagi Umat ini. Semoga!
*Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation