Lima Sisi Keistimewaan Kitab Kuning

Oleh Rudy Fachruddin S.Ag

Alumnus UIN al-Raniry jurusan ilmu Al-Qur'an & Tafsir, dan alumni Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara. Penulis juga aktif melayani penerjemahan kitab Arab di lingkungan kampus UIN al-Raniry. E-mail: rudy.senju@gmail.com

Penggunaan kitab kuning dalam pembelajaran ilmu-ilmu keislaman adalah sesuatu yang umum diketahui. Akan tetapi kali ini kita akan mengganti istilah kitab kuning dengan istilah yang lebih esensial dan mengena yaitu kitab Arab. Keistimewaan kitab-kitab tersebut bukan terletak pada warna kertas kitab tersebut dicetak, itu sifatnya kondisional semata, keistimewaan yang sebenarnya adalah kualitas keilmuan penulisnya dan keluasan khazanah  keilmuan yang hanya ditampung dalam tulisan-tulisan berbahasa Arab.

Sebagian orang mempertanyakan mengapa kita mesti bisa membaca rujukan berbahasa Arab dalam mempelajari berbagai ilmu keislaman? Bukankah kita dapat juga merujuk pada buku-buku berbahasa Indonesia. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan berbagai sisi. Pertama dari sisi waktu, Kalau diibaratkan penulisan cabang-cabang ilmu keislaman sebagai sebuah perlombaan, maka tulisan-tulisan berbahasa Arab unggul jauh sekali dibandingkan tulisan berbahasa Indonesia, Melayu atau bahasa daerah di Nusantara.

Tulisan paling tua dalam cabang ilmu keislaman yang berbahasa Melayu selalu direpresentasikan oleh tulisan para ulama Islam Nusantara seperti Nuruddin al-Raniry atau Abdurrauf al-Singkily, keduanya bisa dikatakan memiliki tulisan berbahasa Melayu dalam cabang ilmu fiqih dan tafsir pertama yang bisa terlacak saat ini. Padahal keduanya hidup pada era abad 16 dan 17 Masehi, bandingkan dengan tulisan para ulama yang mula-mula merintis tulisan dalam berbagai cabang ilmu keislaman dalam bahasa Arab yang telah bermunculan dan berkembang sejak abad 8 dan 9 Masehi.

Artinya ada kesenjangan sejauh 9 abad jika membandingkan perbandingan seberapa jauh dan luasnya khazanah keilmuan Islam dalam rujukan berbahasa Arab dengan bahasa Nusantara. Jarak sembilan abad tersebut tentu tidak kecil pengaruhnya dalam menentukan Tingkat kepadatan ilmu yang tertampung dalam dua bahasa tersebut.

Dalam celah waktu sembilan abad tersebut juga sudah lahir beberapa tokoh ulama Islam yang dikenal sangat produktif menulis, tokoh yang dimaksud misalnya imam Ghazali, Ibn Taimiyah, Imam Nawawi, Jalal al-Din al-Suyuthi dan sebagainya. Bayangkan jika pemikiran-pemikiran mereka yang sangat melimpah ruah telah berabad-abad tertulis sedangkan penulisan khazanah Islam dalam tulisan Nusantara pada waktu bersamaan baru saja dimulai.

Sisi yang kedua untuk menjawab pertanyaan di atas adalah tingkat keluasan ilmu yang sangat kontras jika membandingkan antara rujukan berbahasa Nusantara dengan rujukan berbahasa Arab. Dalam kajian fiqh, setiap mazhab mu'tabar di dunia Islam telah melahirkan ribuan ulama yang ikut menulis Mazhab fiqih mereka. Beberapa tulisan bahkan memuat informasi yang sangat banyak sehingga cetakannya sampai pada belasan bahkan puluhan jilid, kitab-kitab fiqih yang dimaksud seperti al-Majmu', al-Mabsuth, al-Mughny dan lain sebagainya.

Kitab-kitab fiqih tersebut memuat ragam penjelasan bab-bab fiqih secara lengkap, Sehingga kita dapat mencari informasi tentang hukum sebuah perkara dalam tinjauan fiqih bahkan sampai kepada perkara yang paling musykil sekalipun. Hal ini tidak akan dapat kita temukan dalam rujukan-rujukan fiqih berbahasa Indonesia karena belum ada rujukan fiqih dengan tingkat keluasan pembahasan yang serupa di dalam bahasa Indonesia. Kecuali hanya terjemahan-terjemahan untuk kitab Arab, padahal kitab-kitab fiqih yang diterjemahkan secara tuntas ke dalam bahasa Indonesia jumlahnya masih sangat terbatas.

Berikutnya dalam keilmuan tafsir dan hadis, penulisan Tafsir yang secara tuntas menafsirkan ayat Alquran dari ayat pertama sampai terakhir dalam bahasa Indonesia selalu terbatas pada tulisan-tulisan Tafsir karangan Quraish Shihab, Buya Hamka, Hasbie al-Shiddiqie, Abdurrauf al-Singkily. Karena rujukan tersebut yang memungkinkan untuk diakses.

Padahal jika merujuk pada tulisan berbahasa Arab, penulisan Tafsir yang lengkap sangat melimpah, sampai pada titik kita akan kewalahan jika hendak mengkaji seluruhnya. Bahkan penulisan tafsir dalam bahasa Arab dapat dipisah-pisah menjadi corak-corak tertentu.

Ada Tafsir yang kental dengan nuansa pembahasan hukum seperti al-qurthuby, kental dengan nuansa kebahasaan seperti Zamakhsyary, kental dengan pembahasan logika seperti tafsir al-Razi, kental dengan pembahasan sains seperti Tafsir Thantawy Jauhari dan ada yang kental dengan nuansa tema sosial kemasyarakatan seperti Tafsir Wahbah Zuhaili. Ragam corak dan nuansa seperti gambaran di atas belum dapat kita temukan dalam rujukan tafsir berbahasa Indonesia atau Melayu.

Kesenjangan yang lebih parah terjadi dalam kajian hadis. Kitab-kitab dokumentasi hadis kebanyakan sudah diberikan syarahan oleh para ulama dalam tulisan berbahasa Arab. Sehingga jika kita hendak mendalami uraian yang lebih jauh Ketika menemukan sebuah hadis, kita hanya perlu menemukan hadis tersebut didokumentasikan oleh perawi siapa lalu membaca syarahan kitab hadis tersebut misalnya Fathul bari untuk Syarah hadis Bukhari, Syarah al-Minhaj untuk Hadis riwayat Muslim dan sebagainya. Sedangkan Penulisan syarahan hadis dalam buku-buku berbahasa Indonesia masih amat sangat sepi.

Keterbatasan rujukan Tafsir dan syarahan hadis dalam bahasa Indonesia dampaknya tidak sederhana. Setiap permasalahan dalam agama Islam selalu berdasarkan pada ayat Alquran atau hadis, sehingga setiap hendak mendalami suatu permasalahan, mencari ayat-ayat Alquran dan hadis tentang topik tersebut adalah jalan terbaik, kemudian membaca tafsir dan syarahan untuk masing-masing ayat dan hadis. Namun bagi pelajar yang tidak mampu menelaah rujukan berbahasa Arab, hal ini menjadi sebuah kesia-siaan besar.

Situasi yang lebih parah terjadi pada cabang keilmuan yang telah dipecah menjadi lebih spesifik dari cabang ilmu pokoknya. Misalnya saja cabang ulum al-Qura'n yang dapat dipecahkan menjadi puluhan cabang ilmu lainnya. Spesialisasi ilmu tertentu dalam Ulumul quraan bahkan sama sekali belum tersedia rujukannya dalam bahasa Indonesia, cabang yang dimaksud seperti pembahasan tentang Mu'arrabah (kosa kata serapan di luar bahasa Arab yang digunakan di dalam Al-Qur'an), wujuh dan al-Nazhair (kajian tentang ragam pemaknaan kosa kata di dalam Al-Qur'an), ilmu Gharib al-Qura'n (kajian kosa kata yang musykil di dalam Al-Qur'an), ilmu munasabah (harmoni antara ayat-ayat di dalam Al-Qur'an) dan cabang-cabang ilmu yang lain.

Ilmu-ilmu tersebut telah tersedia tulisan khusus para ulama yang memfokuskan pada topik tersebut, tetapi dalam rujukan bahasa Indonesia rujukannya amat sangat terbatas bahkan jika tidak dikatakan tidak ada sama sekali. Kenyataan ini nantinya mengakibatkan para pelajar Islam akan kesulitan untuk mencari rujukan pada banyak kajian penting jika tidak mampu membaca kitab-kitab Arab.

Sisi yang ketiga adalah kesesuaian dengan fase-fase pembelajaran ilmu keislaman. Jika menyusun sebuah kurikulum cabang ilmu keislaman dari tingkat dasar sampai tingkat lanjut, maka penggunaan kitab Arab adalah solusi yang tidak terelakkan. Misalnya untuk kajian fiqih Syafi'i menggunakan jenjang kitab secara berurutan dari Safinatun Naja', matn al-Ghayah wa al-Taqrib, Fath al-Qarib, Fath al-Mu'in, Kanz al-Raghibain dan seterusnya. Atau dalam cabang ilmu nahwu dengan urutan matn al-Jurumiyah, Mutammimat al-Jurumiyah, al-Khudhury dan sebagainya. Rentetan penggunaan rujukan yang sesuai dengan jenjang pendidikan pelajar seperti gambaran di atas rasanya akan sulit diterapkan pada rujukan-rujukan berbahasa Indonesia.

Sisi keempat adalah kemudahan akses. keterbatasan jumlah buku bacaan keilmuan Islam di perpustakaan selalu menjadi kendala bagi para pelajar saat sedang mengurai kajian tertentu. Sebagian pelajar mungkin mencari jalan keluar dengan membeli buku, namun tentu saja para pelajar akan berhadapan dengan masalah lain seperti keterbatasan biaya, kelengkapan toko buku yang juga belum memadai dan ada banyak buku yang boleh jadi tidak terlacak.

Adapun jika berbicara tentang rujukan berbahasa Arab, kita akan memperoleh kemudahan yang lebih besar dari sisi akses dan keterjangkauan. Banyak kitab-kitab besar dan penting sudah tersedia scan pdf-nya di internet belum lagi kemudahan yang ditawarkan oleh aplikasi semacam Maktabah syamilah dan sejenisnya. Hal ini juga termasuk kemudahan yang tersia-siakan bagi pelajar yang tidak mampu membaca kitab-kitab Arab.

Sisi yang kelima adalah keotentikan informasi di dalamnya. Seringkali buku-buku dalam bahasa Indonesia hanyalah kutipan dan olahan dari pemikiran dari tulisan berbahasa Arab. Hal ini secara tidak langsung menjadikan membaca kitab Arab seperti memperoleh suatu komoditas yang lebih dekat dari sumbernya dibandingkan rujukan berbahasa Indonesia. Hal ini juga mengurangi potensi distorsi dan manipulasi data yang bisa saja dilakukan oleh penulis berbahasa Indonesia yang menyajikan pemikiran seorang ulama secara tidak utuh dan persis seperti digambarkan oleh kitab para ulama itu sendiri yang berbahasa Arab.

Terakhir, melalui tulisan ini penulis hendak mengajak kepada para pelajar Islam dan umat Muslim secara umum agar lebih menyadari betul urgensi penguasaan untuk membaca kitab kuning. Orang tua pelajar harus memerhatikan kemampuan anaknya dalam hal ini. Seorang pelajar sendiri harus serius sedini mungkin mempelajari perangkat-perangkat yang diperlukan untuk dapat membacanya kitab-kitab Arab.

Seorang pengajar juga harus memperhatikan anak didiknya dalam masalah ini. Kita tidak bisa pungkiri bahwa lemahnya kemampuan para pelajar untuk menelaah kitab-kitab Arab secara tidak langsung menyebabkan kelesuan perkembangan khazanah keilmuan Islam di Indonesia dan Aceh secara khusus.