Oleh: M. Sanusi Madli*
Semenjak Pemerintah Aceh mengumumkan pencabutan jam malam pada Sabtu (4/4/2020), sebagian masyarakat aceh menyambut dengan penuh gembira, seolah olah kekhawatiran terhadap penyebaran virus corona sudah berakhir, sang virus pun sudah mudik kekampung halamannya, sehingga masyarakat mulai bebas beraktivitas seperti biasa, jalanan mulai hidup kembali, pasar pasar mulai ramai kembali, warung kopi juga menggambarkan bahwa Aceh benar benar sudah bebas corona.
Padahal pencabutan jam malam bukan berarti Aceh sudah bebas corona, tapi ada faktor lain yang menjadi pertimbangan Pemerintah Aceh sehingga jam malam di cabut, diantaranya pertimbangan suara publik soal banyak nya keluhan pedagang kecil yang terhenti pemasukannya, sehingga berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan dasar harian mereka, para pemulung yang bekerja pada malam hari juga menjadi pertimbangan pemerintah, sehingga dengan mempertimbangkan perekonomian masyarakat kecil, kebijakan jam malam dicabut sementara, jadi bukan karena Aceh telah bebas corona.
Pemahaman bahwa ancaman covid-19 sudah berkurang di Aceh merupakan pemahaman yang sangat mengkhawatirkan, betapa tidak, peluang tersebar nya virus akan lebih cepat, mengingat masyarakat sudah tidak lagi mengikuti protokol pencegahan penyebaran covid-19, dengan banyak nya pelanggaran protokol tentu akan semakin mudah virus tersebut tersebar, masyarakat tidak lagi menjaga jarak antar sesama, tidak lagi memakai masker, tidak lagi mencuci tangan sebagaimana anjuran, juga hal hal lain yang disarankan untuk mencegah laju perkembangan penyebaran covid-19.
Bila hal ini tidak segera di sadari oleh masyarakat Aceh, maka tidak menutup kemungkinan Aceh akan mengikuti jejak Negara lain yang angka kematiannya sudah mencapai ribuan perharinya, memang soal nyawa bukanlah kehendak manusia, akan tetapi berikhtiar agar selamat dari bencana wabah adalah kewajiban, baru kemudian tawakkal, begitu islam mengajarkan kita, bukan pasrah tanpa melakukan berbagai upaya atau usaha agar terhindar dari wabah.
Soal ikhtiar, jangan lupa bahwa ketika terjadi wabah dulu di negeri Syam, semasa Khalifah Umar bin Khattab, dua Gubernur Syam meninggal karena serangan wabah tersebut, pertama Gubernur Abu Ubaidah bin Jarrah, kedua Gubernur Mu’adz bin Jabal, dua shahabat yang disayangi dan dipuji oleh Rasulullah, setelah dua Gubernur tersebut wafat, Amru bin Al-Ash memimpin Syam, ia memerintahkan rakyat nya untuk berpencar ke bukit bukit, menjaga jarak hingga wabah itu hilang dari negeri tersebut, berpencar adalah bagian dari ikhtiar.
Oleh karena itu, wahai masyarakat Aceh, mari kita menyadari bahwa virus ini belum pergi dari Aceh, dia masih bergentayangan diantara kita, patuhilah segala anjuran pemerintah dalam upaya pencegahan penyebaran covid-19, tanpa kesadaran dari kita semua, wabah ini akan selalu ada dan mengancam nyawa kita, keluarga kita serta masyarakat banyak, jangan sampai kita menyesal kemudian, ketika orang orang yang kita cintai telah di isolasi bahkan sudah menjadi korban keganasan covid-19, sekarang masih ada waktu untuk bertindak, lakukanlah segala upaya untuk mencegah laju penyebaran virus tersebut, serta kita ingatkan saudara kita yang lain agar patuh dan disiplin, demi kebaikan kita semuanya, kita tidak panik, hanya saja kewaspadaan perlu kita kedepankan.
Wallahu’alam…
*Penulis adalah Sekretaris Dayah Al ‘Athiyah, Operator Sidara, Pengurus Wilayah Dewan Dakwah Aceh, Ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Dakwah (LPPD) Al-Ishlah Aceh.