Antar PUSA Dan Paham Wahabiyah Di Aceh

PUSA yang merupakan singkatan daru Perserikatan Ulama Seluruh Aceh, didirikan pada tahun 1939, sebagai hasil Muktamar Ulama Aceh yang berlangsung di Glumpang Dua Aceh Utara. PUSA sebagai organisasi agama non politik yang berpolitik. Berdirinya organisasi ini disebabkan adanya larangan berdirinya partai-partai politik.
 
Pendiri PUSA ini terdiri atas para ulama, yang beberapa tahun sebelum lahirnya organisasi ini telah mendirikan dan memiliki organisasi keagamaan, seperti Al Jam’iyyah At Taqiyyah, Al Jam’iyyah Khairiyyah, Al jam’iyyah Al Diniyyah dan lain-lain. Para ulam itu mempunyai dayah sendiri-sendiri dan setelah adanya pembaharuan sistem pendidikan Islam, nama dayah tadi diubah  menjadi Madrasah. Namun demikian masih juga terdapat kata “dayah” untuk pengertian pesantren dan madrasah yang merupakan pendidikan berbentuk sekolah.
 
Para ulama yang memengang tampuk pimpinan utama PUSA adalah Tengku Muhammad Daud Beureuh, Tengku Abdurrahman Meunasah Meucap, Tengku Abdul Wahab Seulimuem, Tengku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, Tengku Amir Husein, Al Mujahid, tengku Muhammad Nur  al-Ibrahimy, Tengku Syeikh Abdul Hamid Samalanga, Tengku Muhammad Amin, Tengku Hasan Hanafiah Lhok Bubon, Tengku Zamzami Yahya Tapak Tuan, Tengku Muhammad Dahlan Masjid Raya, Tengku Muhammad Amien Alue.
Namun dalam deratan daftar nama di atas, nama Tengku Haji Hasan Krueng Kalee, tidak termasuk di dalamnya padahal beliu mempunyai pusat pendidikan Islam terkenal di Aceh Besar. Dan ke’aliman beliau diakui oleh semua ulama Aceh. Bahakan kalau tidak salah, Tengku Muhammad Daud Bereueh pernah pula belajar mengaji di pesantren beliau. Itulah sebabnya, maka kebayakan murid-murid Tengku Haji Krueng Kalee seperti Tengku Muhammad Amien Jumphoh di Kabupaten Pidie, Tengku Abdul Jalil dari Lhokseumawe dan ayahku (Tengku Syeikh Haji Muhammad Waly) berada dalam kelompok ulama Non PUSA.
 
Barangkali ini disebabkan, karena pada zaman itu di Aceh terkenal dua istilah, yaitu kaum Muda dan kaum Tua. Perbedaaan antara keduanya sangat mendasar. Para ulama PUSA dan pemuda-nya disebut Kaum Muda dan para ulama Non PUSA disebut Kaum Tua. Hal ini disebabkan pemuda-pemuda yang belajar ke Sumatra Barat, baik yang masuk perguruan Normal Islam Pimpinan Prof.Mahmud Yunus atau bukan, sekembalinya ke daerah Aceh, bergabung dengan PUSA. Sedangkan pendiri PUSA, kegiatanya sebagai pemimpin melebihi kegiatan ulama yang semestinya tekun di pesantren dan menyebarkan ilmu-ilmu agama kepada para santri, agar mereka kelak menjadi ulama. Karena itulah para ulama seperti Syeikh Haji hasan Krueng Kalee, lebih mengutamakan bidang keulamaan, termasuk juga ayah, Syeikh Haji Muhammad Waly sedangkan dalam hal-hal yang bersifat politik cukup diserahkan kepada murid-murid beliau, apakah Hulubalang atau Raja atau Pemimpin dan pedagang. Penyebab yang lebih menonjol, sehingga para ulama non PUSA enggan bergabung dengan PUSA, bukan Karena tidak setuju dengan cita-cita PUSA semula yang memang baik untuk kepentingan meninggikan Islam, tetapi karena pada kenyatanyaan pemuda-pemuda mereka, bahkan sebagian ulamanya telah terpengaruh dengan paham Wahabi, yakni paham keagamaan yang sudah menyimpang dari kitab-kitab Islam yang selama ini telah berkembang di daerah Aceh.
 
Inilah yang menyebabkan terjadinya perdebatan besar di Blang Pidie Aceh Selatan, antara Tengku Sufi dari ulama PUSA dengan ulama non PUSA, sehingga akhirnya ayah turun tangan menunjang paham keagamaan ahlussunnah wal jama’ah, seperti yang berkembang sejak jaman dahulu di daerah Aceh. Justru hal itulah yang menyebabkan para ulama PUSA di Aceh Barat dan Selatan, bahkan juga di Aceh lain tidak berkembang dalam  misinya.
 
Sesungguhpun demikian, dalam menghadapi penjajah, baik kolonial Belanda dan Jepang, para ulama Aceh, baik yang tergabung dalam PUSA atau non PUSA, tetap bersatu. Bahkan semangat jihad keagaamaan yang didasarkan keihklasan dan mencari ridha Allah yang murni telah diperlihatkan ulama non PUSA, sementara PUSA dan pemudanya masih belum sampai kepada tinggkat keyakinan tersebut. Kita melihat bukti nyata dalam sejarah, yakni menjelang akhir tahun 1942 telah terjadi jihad fi sabilillah yang di pimpin oleh Tengku Abdul Jalil, seorang ulama muda, yang berasal dari Buloh Blang Ara Lhokseumawe. Dia dengan jama’ahnya memberontak terhadap Jepang, terutama setelah kekejaman tentara Jepang dan juga setelah keluarnya perrintah kirei(hormat) kepada Tenno heika dengan menghadap ke Tokyo.
 
Meskipun Jepang melakukan politik dua muka, satu muka dihadapkan kepada para ulama dan satu lagi kepada Raja dan Hulubalang, dimana dengan kedua muka itu, Jepang berusaha menyukseskan dan memenangkan perang Asia Timur  Raya, yaitu dengan cara menganjurkan rakyat mengumpulkan padi, membuat lapangan terbang, jalan, benteng, namun  niat buruk Jepang membelakangi ulama non PUSA, tidak berhasil, karena Raja dan Hulubalang merasa terhimbau untuk berada di belakang para ulama, karena keihklasan dan tuntunan mereka yang betul-betul mencari keridhaan Allah. Di samping mereka juga berjalan pada garis-garis ulama Aceh sebelumnya dan mereka senantiasa konsekuen terhadapnya, kapan dan dimanapun mereka berada. Inilah yang aku ketahui mengenai ayahku di jaman Jepang. Meskipun umurku waktu itu sekitar 8 tahun, tetapi aku sudah dapat merasakan adanya perbedaan di kalangan para ulama Aceh, demi kepentingan Islam dan ketinggian Islam, mereka tetap bersatu.