Agar Dayah Salafiyah Ijazah Alumninya Bermakna

Oleh Bung Syarif*

Pondok Pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan Nasional, keberadaan pondok pesantren sebelum Indonesia merdeka diperhitungkan oleh bangsa-bangsa yang pernah menjajah Indonesia.

Pada masa kolonialisme dari Pondok Pesantren lahirlah tokoh-tokoh nasional yang tangguh yang menjadi pelopor pergerakan kemerdekaan Indonesia, seperti KH. Hasyim Asyari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Zaenal Mustopa dll. Maka dapat dikatakan bahwa masa itu Pondok Pesantren memberikan kontribusi yang besar bagi terbentunya republik ini. Bila dianalisis lebih jauh kenapa dari lembaga pendidikan yang sangat sederhana ini muncul tokoh-tokoh nasional yang mampu menggerakan rakyat untuk melawan penjajah, jawabannya karena figur Kiyai sebagai Pimpinan pondok pesantren sangat dihormati dan disegani, baik oleh komunitas pesantren (santri) maupun masyarakat sekitar pondok, mereka meyakini bahwa apa yang diucapkan kiyai adalah wahyu Tuhan yang mengandung nilai-nilai kebenaran hakiki ( Ilahiyyah).

Pada masa pasca kemerdekaan, Pondok Pesantren perkembangannya mengalami pasang surut dalam mengemban misinya sebagai pencetak generasi kaum muslimin yang mumpuni dalam bidang Agama (tafaqquh fiddien). Pada masa periode transisi antara tahun 1950–1965 Pondok Pesantren mengalami fase stagnasi, dimana Kyai yang disimbolkan sebagai figur yang ditokohkan oleh seluruh elemen masyarakat Islam, terjebak pada percaturan politik praktis, yang ditandai dengan bermunculannya partai politik bernuasa Islami peserta pemilu pertama tahun 1955, contohnya dengan lahirnya Partai Politik NU yang mewaliki warga Nahdiyyin, Partai Politik NU tersebut dapat dikatakan merepresentasikan dunia Pondok Pesantren. Hal ini dikarenakan sebagian besar pengurus dari parpol tersebut adalah Kiyai yang mempunyai Pondok Pesantren.

Perkembangan pendidikan Pondok Pesantren pada periode Orde Baru, seakan tenggelam eksistensinya karena seiring dengan kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada kepentingan ummat Islam.

Setitik harapan timbul untuk nasib umat Islam setelah terjadinya era reformasi, pondok pesantren mulai berbenah diri lagi dan mendapatkan tempat lagi dikalangan pergaulan nasional. Salah satunya adalah Pendidikan Pondok Pesantren diakui oleh pemerintah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pondok pesantren tidak lagi dipandang sebagai lembaga pendidikan tradisional yang illegal, namun pesantren diakui oleh pemerintah sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai kesetaraan dalam hak dan kewajibannya dengan lembaga pendidikan formal lainnya.

Peluang tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh seluruh Pondok Pesantren, agar dapat meningkatkan kembali peranannya dalam sistem pendidikan nasional. Namun yang terjadi peluang tersebut belum memberikan respon positif kearah peningkatan kualitas pendidikannya, salah satunya dapat diidentifikasikan bahwa hanya segelintir kecil saja masyarakat yang ingin menitipkan anaknya untuk dididik dilembaga pendidikan pondok pesantren, dibanding ke sekolah-sekolah umum. Ketimpangannya cukup besar, mungkin hanya 10% nya saja anak-anak Indonesia yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren dan selebihnya mereka mengenyam pendidikan disekolah-sekolah umum.

Pembinaan Pondok Pesantren sebelum tahun 2000 dilakukan oleh salah satu Subdit di lingkungan Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Islam, yaitu Subdit Pondok Pesantren sesuai dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1979.

Akhirnya dengan makin pesatnya perkembangan lembaga pondok pesantren dan pendidikan diniyah serta makin berkembangnya program dan kegiatan pembinaan bagi Pondok Pesantren dan Pendidikan Diniyah, subdit tersebut berkembang menjadu direktorat yang bernama Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, sebagai satu dari empat direktorat yang pada Ditjen Kelembagaan Agama Islam sesuai Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001. Dengan berubahnya organisasi pembinaan menjadi direktorat tersebut, maka pendidikan di pondok pesantren dan pendidikan diniyah terus makin berkembang dengan pesat, dan mulai diakui dikalangan dunia pendidikan.

Pada akhirnya seiring dengan berkembangnya pembinaan dan pengorganisasian Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam yang berubah menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren berubah pula menjadi Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren. Perubahan itu berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3 Tahun 2006 sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2005 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005.

Politik Hukum Pontren/Dayah di Era Reformasi

Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren membawa angin segar dan haluan baru dalam pembinaan Pondok Pesantren atawa dayah. Dimana tujuan penyelenggaraan pendidikan Pontren yaitu; mencetak individu yang unggul di berbagai bidang ilmu, mengamalkan nilai-nilai agama, berimtaq, moderat, cinta tanah air. Karna itulah  sejatinya kehadiran Pontren atawa dayah harus benar-benar memiliki spirit sebagaimana amanah konstitusi. Pakem dayah harus jelas dan terang benderang, Kiyai dan gurunya harus benar-benar selektif, jangan serampangan mengaku sebagai pimpinan dayah sementara keilmuan dan keadabannya bermasalah. Nasab keilmuannya harus bersanad, prilakunya harus terpuji, gagasannya harus inovatif serta cinta tanah air jangan sampai seperti syech Panji Gumilang yang membangun opini liar, serta menyesatkan pikiran santrinya. Gedung megah tidak menjamin kesucian keilmuan di dalamnya, hehe. Disini boleh Tuan dan Puan berbeda pandangan dengan saya.

Pontren atawa Dayah harus mengikuti kebijakan negara agar ijazah alumninya diakui oleh negara. Dalam kontek bernegara Dayah dibagi tiga yaitu Dayah Salafiyah (tradisional), Terpadu/Modern dan Tahfidz/Ulumul Qur`an. Ketiga institusi/Satuan Pendidikan Agama Islam baru diakui sebagai Dayah/Pontren jika memenuhi rukunnya yaitu; pertama; memiliki Kiyai/Pimpinan atau sebutan lain, merupakan sosok insan yang kharismatik dan mumpuni Ilmu Agama. Kedua; ada santri yang mondok minimal 15 orang, bukan santri kalong (yang hanya belajar malam saja), ketiga: ada Bilik atau asrama, Keempat; adanya kajian kitab turats (kitab gundul arab), Kelima; ada Mushalla/Masjid (tempat ibadah) yang digunakan sebagai tempat riyadhah (pengajaran spritual).  Kelima rukun tersebut wajib ada. Jika salah satu saja tidak terpenuhi maka belum dikualifikasi sebagai Pontren atawa Dayah. Akan tetapi pemenuhan rukun ini belum sempurna jika tidak mengikuti kebijakan negara, khususnya dayah salafiyah (tradisional) harus mengambil program Satuan Pendidikan Diniyah Formal (PDF) atawa Satuan Pendidikan Muadalah (SPM), serta Mahad Aly sesuai dengan regeling Kementrian Agama (Baca PMA Nomor 31 Tahun 2020). Jika dayah Salafiyah telah mengambil tiga program ini, maka ijazahnya diakui oleh negara dan dapat digunakan untuk tes ASN, TNI/Polri, Dosen serta profesi lainnya sesuai formasi yang ada.

Untuk ijazah PDF/SPM jenjang Ula setara dengan SD/MI, Ijazah PDF/SPM jenjang Wustha setara SMP, jenjang Ulya setara SMA/MAN. Untuk Ijazah Mahad Aly setara dengan Sarjana. Keren bukan?

Alhamdulillah sejak 2020 beberapa dayah salafiyah (tradisional) di Kab/Kota se-Aceh telah mengambil program ini sebut saja Dayah Raudhatul Maarif (Aceh Utara), Raudhatul Munawwarah (Pidie Jaya), Malikussaleh (Aceh Utara). Darussalam Al Waliyah (Aceh Selatan), Babussalam (Aceh Utara), PDF Wustha Al Ishlah Al Amiriyah (Banda Aceh), PDF Ulya Al Ishlah Al Hanafiyah (Banda Aceh). Berdasarkan data dari Kanwil Agama Aceh total SPM sebanyak 54 yang telah keluar izin operasional, PDF sebanyak 15 serta Ma`had Aly sebanyak 6.

Tentunya di Tahun 2023 ada beberapa Dayah di Banda Aceh berpotensi mengajukan SPM/PDF antara lain; Misbahus Shalihin Al Waliyah, Madinatul Fata, Nidhamul Fata, Darul Fikri Al Waliyah, Mini Aceh, Baital Atiq, Darul Mufadzal Al Aziziyah, Raudhatul Jannah Ateuk Jawoe, Mabdaul Ulum Al Aziziyah, Misrul Huda Malikussaleh, Bustanul Huda. Ini berdasarkan amatan kami dilapangan melihat dari aspek persyaratan yang  diatur dalam regulasi serta santri mondok yang terus bertambah siknifikan.

PDF dan SPM serta Ma`had Aly sesunguhnya menjaga tradisi keautentikan dayah salafiyah. Tentu kami patut bersyukur Markaz Al Ishlah Al Aziziyah (MIAZ) dibawah kepemimpinan Tu Bulqaini satu-satunya Dayah Salafiyah (Tradisional) di Banda Aceh yang telah memperoleh izin operasional untuk 2 jenjang PDF yaitu; PDF Wustha Al Ishlah Al Amiriyah dan PDF Ulya Al Ishlah Al Hanafiyah.  Langkah MIAZ mestinya diikuti oleh Dayah Salafiyah (Tradisional) yang lainnya. Sehingga ruhnya Dayah Salafiyah benar-benar autentik. Biarkan kehadiran Sekolah Umum dikembangkan di Dayah Terpadu/Moderen. Jika Dayah Salafiyah tidak mengambil kebijakan negara, maka ijazah alumninya kurang bermakna karna negara tidak mengakuinya. Banyak wali santri yang melapor pada kami, solusinya adalah Ayo ambil PDF atawa SPM. Karna kita hidup bernegara bukan dalam ruang hampa. Jika tidak, suatu saat dayahnya akan ditinggalkan peminat (santrinya).

*Penulis adalah Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Banda Aceh, Ketua Komite Dayah Terpadu Inshafuddin (DTI), Fasilitator (Pro DAI) Unicef-YaHijau, Dosen Legal Drafting FSH UIN Ar-Raniry, Alumni Lemhannas Pemuda Angkatan I, Penulis Buku Reformasi Birokrasi dari Banda Aceh menuju Indonesia