Oleh Bung Syarif*
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan baik secara konstitusional maupun non konstitusional. Aristoteles beranggapan bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Sementara sufi bermakna suci hati dan perbuatan. Jadi Politik sufi adalah strategi atau cara meraih kekuasaan dengan cara-cara yang terpuji baik dilakukan secara konstitusional maupun non konstitusional.
Kekuasaan yang diperoleh tanpa menginjak dan mencedarahi hak-hak orang lain, bahkan yang terjadi saat ini adalah “politik jurus mabuk”. Pileg dan Pilpres serentak nuansa politik sufi nihil, bahkan yang muncul adalah politik “transaksional”, bandrol prolitik semakin liar di pasaran. Siraman cuan meraja lela, berbagai amunisi politik disiram mulai dari uang, komporgas, minyak, beras, mukena, kain sarunhg dan berbagai bentuk bantuan politik lainnya.
Berdasarkan pengakuan teman yang berprofesi sebagai salah seorang timses Angota Legislatif di Kota Banda Aceh menghabiskan anggaran dikisaran 2,5 Milyar untuk meraih satu kursi dewan, Ini tentu angka yang luar biasa pantastis, dipastikan pasca dilantik sebagai anggota dewan harus balek modal. Disinilah nanti akan keluar jurus-jurus mabok agar cuan balek modal flus untung, hehe
Bandrol politik di Kab/Kota sangat tergantung Dapil masing-masing, jika Dapil neraka, memang cuan yang dikeluarkan sangat besar sekai.
Maka tidak heran demi ambisis dan gengsi apapun dilakukan untuk meraih kemenangan.
Biaya Politik Mahal
Peneliti senior Koninklikj Instittut Voor Taal-Land-enVolkenkunde (KITLV) Leiden, Belanda, Ward Berenschot menilai, biaya politik di Indonesia sangat mahal, maka dari itu untuk mewujudkan ekonomi berkualitas perlu merubah sistem pemilihan. Tingginya ongkos politik akan mereduksi jumlah orang yang berkompeten untuk menjabat di pemerintahan atau lembaga negara, karnanya ia menawarkan perlunya pemerintah melakukan subsidi untuk partai politik. Ide ini patut diperhitungkan. Sehingga praktek mahar politik bisa dikurangi bahkan di nihilkan, walau ini agak sulit.
Biaya politik mahal disebabkan partai politik harus menyiapkan logistik politi untuk pemenangan meliputi biaya saksi, timses, alat peraga kampanye serta uang tetek benget lainnya. Ini bisa dikonfirmasi langsung pada orang-orang yang bertarung di Pileg DPRI, DPD, DPRA/DPRK, kalau untuk Pilpres tentu lebih seru lagi..hehe
Ward juga menyoroti lemahnya pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menghentikan praktek politik uang (money politic) Fenomena beli suara, sudah umum terjadi dan sulit dihentikan ungkap Ward. Jika ini terus dibiarkan maka kualitas demokrasi Indonesi akan berdampak buruk pada kualiras pemimpin disemua levelnya.
Ada ungkapan yang bijak: “Siapa pun yang minum dari cawan kekuasaan, ia pasti terjatuh dari keikhlasaan seorang hamba," begitulah pendirian para sufi. Kalimat bijak ini sangat besar artinya bagi kaum sufi.
Al-Ghazali menjadikan pendirian ini sebagai satu pondasi dalam penemuan sifat ikhlas dalam diri seorang hamba. Keterlibatan dalam dunia politik akan sangat mengganggu kemurnian hati sang sufi. Makanya cukup menarik ketika J. Spencer Brimingham malah menulis satu sub judul: "Peran Politik Kelompok Sufi" dalam bukunya The Sufi Orders in Islam. Orientalis asal Inggris itu secara khusus menulis aktivitas politik kaum sufi di berbagai belahan dunia.
Dalam kehidupan alam nyata hampir tidak dapat ditemukan lakon “politik sufi”, justru yang banyak kita lihat berbagai praktek kecurangan dipertontonkan oleh orang-orang (politisi) dalam meraih hasrat politiknya. Politik cendrung menghalalkan berbagai cara. Asal tujuannya tercapai, sikut-kiri kanan, injak kawan, fitnah, hasut, dengki dan lain sebagainya menjadi senjata pamungkas guna menjatuhkan lawan politiknya. Politik itu ngeri-ngeri sedap. Seorang politikus harus nekat, berani dan punya cukup amunisi baik materi maupun immateril (intelektual).
Kehidupan politik umumnya tampilan luar manis, akan tetapi makna hakikinya sulit ditebak. Angka matematis tidak berlaku disitu. Dua tambah dua tidak mesti empat, bisa lima, enam bahkan puluhan. Politik itu kejam. Gara-gara beda pandangan politik dianggap musuh bahkan bisa dicap sebagai pengkianat dan wajib dimatikan gerakan-nya. Sang Ketua Partai Politik menjadi Power pamungkas, jika ada yang coba-coba melawan sang ketua bakal dikutuk alias dileyapkan dari peredaran dunia “persilatan politik”. Maka dari itu ada ungkapan berkah politik atau kutukan politik.
Lantas apakah kita harus pesimis akan lahir sosok politikus sufi? Jawabannya Tentu tidak. Kita harus yakin diantara seribu akan lahir sosok insan yang memiliki semangat perubahan dalam alam perpolitikan Indonesia yang saat ini begitu carut-marut. Paling tidak politik sufi itu harus lahir di tanah rencong. Potensi akan lahirnya politik sufi sangat besar, jika kaderisasi dan pendidikan politik dimainkan oleh politikus di Aceh. warna politik harus dimulai dari parpol politik lokal. Gerakan politiknya harus benar-benar santun dan bermartabat.
Karna itulah yang menjadi pembeda antara partai politik lokal dengan partai politik nasional. Kalau tidak, maka sesungguhnya kehadiran partai politik lokal menurut saya tidak membawa perubahan yang fundamental dalam sistem ketata negaraan Indonesia khususnya di Aceh. yang ada hanyalah perbedaan yurisdiksi teritorial saja, sementara yang lainnya sama saja. Anda boleh setuju dan boleh tidak. Yang pasti saat ini masih berlaku politik jurus mabuk dan politik keris empu gandring, hehe.
* Penulis adalah Majelis Wilayah KAHMI Aceh, Fungsionaris DPD KNPI Aceh, Mantan Aktivis`98, Mantan Ketum DPD Jaringan Nusantara Prop.Aceh, Mantan Sekjen DPP ISKADA Aceh, Kaum Syarikat Islam Aceh, Dosen Legal Drafting FSH UIN Ar-Raniry, Ketua Komite Dayah Terpadu Inshafuddin, Kabid SDM dan Manajemen Disdik Dayah Kota Banda Aceh, Presidium Ikatan Alumni Hukum Ekonomi Syariah (IKAHES) UIN Ar-Raniry