Abuya Muda Waly Dimata H. Ali Hasyimi (Mantan Gubernur Aceh Ke-6)

Saya tertarik dengan pribadi Teungku Muhammad Waly Al-Khalidy, karena dalam beberapa hal kami mempunyai kesamaan, mislanya masalah “Republik”. Kami sama-sama mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia, berarti kami sama-sama nasionalis sejati.
 
Teungku Muda Waly termasuk ulama yang menentang DI/TII yang diproklamirkan oleh Teungku Daud Beureueh. Saya tidak menentang tapi saya tidak terlibat di dalamnya.
 
Ketika ulama PUSA ramai-ramai terjun dalam perjuangan untuk memisahkan diri dengan Republik Indonesia, Teungku Muda Waly justru berfatwa : “Tidak sah menentang pemerintah yang sah.” Menurutnya melawan pemerintah yang sah hukumnya Bughah. Karena fatwanya itu beliau sangat disayang oleh Presiden Soekarno dan dianggap seorang ulama yang nasionalis. Sebenarnya bukan hanya Muda Waly yang tidak bergabung dalam PUSA, tapi ada beberapa ulama besar lain, seperti Teungku H. Hasan Krueng Kalee dan Teungku Abdul Jalil Buloh Blang Ara. Kemungkinan Muda Waly tidak mau bergabung dalam PUSA karena organisasi ulama tersebut telah dikuasai oleh orang-orang yang menerima pembaruan.
 
Hal lain yang mendukung kebesaran Muda Waly, karena beliau “istiqamah” dengan paham tradisionalnya, yakni bermazhab Syafi’i yang Ahlusunnah wal Jama’ah. Berbeda dengan ulama lain pada waktu itu yang terpengaruh dengan paham “pembaruan” dari Minangkabau. Teungku Daud Beureuh, Teungku Wahab Seulimuem, Teungku Nur al-Ibrahimy, dan juga saya waktu itu memang sudah menerima pikiran Muhammad Abduh dari Mesir dikirim oleh ulama Aceh di Mekkah Syeikh Hamid Samalanga.
 
Karena tidak terlibat dalam politik PUSA, Muda Waly menfokuskan diri mengasuh dayahnya di Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan dan berhasil. Banyak murid-muridnya yang menjadi ulama terkenal. Setelah selesai mengaji mereka pulang ke daerah masing-masing membangun dayah baru. Ini jelas sebuah keberhasilan yang tak ada tara bandingannya. Dengan keberhasilan murid-muridnya, nama Teungku Muda Waly semakin harum di Tanah Aceh, apalagi beliau menganut Thareqat Naqsyabandiyah. Perlu diingat, thareqat adalah salah satu sebab seorang guru semakin kharismatik di mata murid-muridnya.
 
Yang terkahir, kami kagum pada Teungku Muda Waly karena berhasil mendidik anak-anaknya menjadi ulama seperti Teungku Muhibbuddin Waly, Muhammad Natsir Waly, Jamaluddin Waly, Mawardi Waly dan Amran Waly. Dengan anak-anaknya yang berhasil, maka dayah Darussalam masih hidup sampai sekarang.
 
Waktu saya menjabat Gubernur, dalam satu kunjungan dinas ke Aceh Selatan, saya pernah singgah di dayahnya. Saya diterima dengan baik sebagai seorang kepala daerah. Hubungan saya dengan beliau sangat baik, sampai beliau meninggal tahun 1961. Sekarangpun hubungan saya dengan anak-anak almarhum sangat baik. Belum lama (sebelum almarhum) ini Muhibbuddin Waly datang kerumah menjenguk saya yang baru sembuh dari sakit.