QANUN BERMAZHAB SYAFII BAGI MUQALLID

Oleh: Muhazzir Budiman, M.Ag (DPP ISAD/ Dosen Hukum Islam STISNU Aceh)

Mazhab Syafii ada dua kategori, mazhab qadim dan mazhab jadid. Antara mazhab qadim dan mazhab jadid banyak terjadi perbedaan. Bahkan kadangkala Imam Syafii pada satu masalah fikih ada dua pendapat atau lebih, baik dalam qawl qadim atau qawl jadid. Kemudian para ashhab-nya (ulama-ulama dalam mazhabnya) pun terjadi khilaf yang luar biasa, baik dari hasil istinbat mereka berdasarkan Ushul Fikih Syafii, dari hikayah mazhab atau dari takhrij hukum.

Lalu khilafiyah tersebut terus terjadi dalam karya-karya ashhab syafi’iyyah yang tersebar luas. Sehingga khilaf para ashhab tersebut menyebabkan sulit dalam memilih pendapat fikih bagi penganut Mazhab Syafii. Akhirnya setelah empat abad lamanya perjalanan Mazhab Syafii, maka Allah beri taufiq kepada Abu al-Qasim al-Rafii salah seorang ashhab mutaakhirin untuk mengumpulkan semua khilafiyah tersebut. Lalu al-Rafii merevisikan (men-tarjih-kan) kembali Mazhab Syafii dan mengabstrakkan semua jalur khilafiyah tersebut dengan kalimat-kalimat yang singkat dalam kitab-kitabnya. Kemudian al-Rafii wafat dan disempurnakan revisi tersebut oleh Imam Nawawi dalam periode yang sama juga. Sehingga Mazhab Syafii sempurna pada tangan Nawawi. Maka dalam sejarah Mazhab Syafii, ini disebut edisi revisi Mazhab Syafii yang pertama.

Sekitar dua abad setelah revisi pertama, Mazhab Syafii direvisi lagi oleh dua ulama besar, yaitu Imam Ibnu Hajar al-Haitami dan Imam Syamsuddin al-Ramli. Keduanya merupakan ashhab mutaakhirin juga, yang hidup dalam masa yang sama. Dalam sejarah Mazhab Syafii, revisi ini dicatat sebagai edisi revisi Mazhab Syafii yang kedua. Revisi kedua ini terjadi karena banyaknya persoalan baru muncul yang tidak ada dalam tarjih Nawawi dan Rafii. Namun revisi kedua ini dilakukan atas dasar revisi pertama juga. Oleh karena itu, secara historis Mazhab Syafii terjadi dua kali revisi.

Aturan Bermazhab

Tarjih adalah segenap usaha mujtahid fatwa atau mujtahid tarjih dalam mengunggulkan suatu pendapat dari khilaf para ulama dengan memberi isyarat suatu kata sebagai tanda pendapat yang diikuti. Maka tarjih hanya dilakukan oleh mujtahid fatwa dan mujtahid tarjih. Adapun yang belum sampai derajat tarjih maka harus mengikuti edisi revisi tersebut dalam Mazhab Syafii.

Dalam Mazhab Syafii memang ada qanun tentang tata aturan pengambilan hukum dan berfatwa bagi yang belum sampai derajat tarjih. Antara kitab yang menjelaskan aturan tersebut adalah kitab al-Fawa’id al-Madaniyyah karya Syeikh al-Kurdiy. Dalam kitab itu ditegaskan bahwa hukum dan fatwa yang sah dan diikuti dalam Mazhab Syafii bagi yang belum sampai derajat tarjih adalah hukum-hukum yang telah direvisikan oleh Ibnu Hajar dan al-Ramli. Apabila dalam edisi revisi Ibnu Hajar dan al-Ramli tidak ada, maka hukum-hukum yang direvisikan oleh Nawawi. Apabila dalam edisi revisi Nawawi tidak ada, maka hukum-hukum yang direvisikan oleh al-Rafii. Adapun apabila khilaf antara Ibnu Hajar dan al-Ramli maka para ulama syafiiyah khilaf dalam mendahulukannya. Artinya, boleh mendahulukan yang mana saja dari mereka berdua.

Lalu hukum-hukum yang di ambil dari karya-karya Ibnu Hajar adalah hukum-hukum dalam kitab al-Tuhfah. Apabila dalam al-Tuhfah tidak ada, maka hukum-hukum dalam kitab Fathu al-Jawad. Apabila dalam Fathu al-Jawad tidak ada, maka hukum-hukum dalam kitab al-Imdad. Apabila dalam al-Imdad tidak ada, maka hukum-hukum dalam kitab al-Syarh. Apabila dalam al-Syarh tidak ada, maka hukum-hukum dalam kitab al-Fatawa. Apabila dalam al-Fatawa tidak ada, maka hukum-hukum dalam kitab Syarh al-‘Ibab. Sedangkan hukum-hukum yang di ambil dari karya-karya al-Ramli adalah hukum-hukum dalam kitab al-Nihayah.

Adapun hukum-hukum yang di ambil dari karya-karya Nawawi adalah hukum-hukum dalam kitab al-Tahqiq. Apabila dalam al-Tahqiq tidak ada, maka hukum-hukum dalam kitab al-Majmu’. Apabila dalam al-Majmu’ tidak ada, maka hukum-hukum dalam kitab al-Tanqih. Apabila dalam al-Tanqih tidak ada, maka hukum-hukum dalam kitab al-Raudhah. Apabila dalam al-Raudhah tidak ada, maka hukum-hukum dalam kitab al-Minhaj. Apabila dalam al-Minhaj tidak ada, maka hukum-hukum dalam kitab al-Fatawa. Apabila dalam al-Fatawa tidak ada, maka hukum-hukum dalam kitab Syarh Muslim. Apabila dalam Syarh Muslim tidak ada, maka hukum-hukum dalam kitab Tashhih al-Tanbih. Apabila dalam Tashhih al-Tanbih tidak ada, maka hukum-hukum dalam semua karya-karyanya yang lain.  

Sedangkan hukum-hukum yang di ambil dari karya al-Rafii adalah hukum-hukum dalam kitab al-Muharrar. Apabila dalam al-Muharrar tidak ada, maka hukum-hukum dalam kitab al-Syarh al-Kabir. Apabila dalam al-Syarh al-Kabir tidak ada, maka hukum-hukum dalam kitab al-Syarh al-Shaghir.

Selain Ibnu Hajar, al-Ramli, Nawawi dan al-Rafii ada satu lagi pentarjih Mazhab Syafii yang mempunyai urutan juga dalam tata urutan pentarjihan Mazhab Syafii, yaitu Imam Taqiyuddin al-Subki. Karena itu, jika dalam karya-karya Ibnu Hajar, al-Ramli, Nawawi dan al-Rafii tidak ada hukum fikih yang diperlukan, maka dirujuk kepada hukum-hukum yang di-tarjih-kan oleh Taqiyuddin al-Subki.

Tata aturan bermazhab di atas merupakan qanun bermazhab Syafii bagi muqallid yang mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak boleh bertentangan dalam Mazhab Syafii. Ketetapan tersebut memang suatu keniscayaan pada akal sehat yang tidak mungkin bertentangan. Perbandingannya adalah hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Di mana peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Karena itu, saya menyebutnya juga dengan Hirarki Pentarjihan Syafiiyah.

Realitasnya

Oleh karena itu, dalam Mazhab Syafii tidak boleh berfatwa dan mengambil hukum dari kitab al-Umm, al-Hawiy, Nihayatu al-Muthlab, al-Wasith dan lain-lain dari kitab-kitab sebelum edisi revisi pertama dan kedua. Karena dikhawatirkan hukum tersebut bukan Mazhab Syafii atau tidak sesuai dengan kaidah Mazhab Syafii. Maka lebih baik mengikuti edisi revisi karena mereka lebih mengerti dengan kitab al-Umm dan karya-karya ashhab mutaqaddimin. Persoalan itu, sama halnya dengan memilih pendapat dari khilaf antara buku cetakan pertama dengan cetakan edisi revisi.

Karena itu, jarang sekali, hampir tidak ada dalam turast syafiiyah setelah edisi revisi pertama dan kedua didapati rujukannya dari kitab al-Umm atau kitab-kitab ashhab mutaqaddimin. Hal yang sama juga tidak ada dalam lembaga-lembaga kajian fikih Mazhab Syafii yang terpercaya, mengajari atau mengkaji kitab al-Umm atau kitab-kitab syafiiyah yang sebelum edisi revisi tersebut. Namun demikian, pada zaman sekarang sudah ada majlis-majlis taklim dalam mesjid, menasah, halaqah-halaqah, youtube atau video yang mengajari kitab al-Umm kepada umat. Dan sudah ada fatwa atau praktek hukum syafiiyah dari kitab al-Umm atau kitab-kitab ashhab mutaqaddimin.

Ketahuilah, cara bermazhab seperti itu adalah cara bermazhab orang-orang yang tidak peduli kaidah bermazhab. Mereka keliru dalam mengamalkan Mazhab Syafii. Mereka mengabaikan hirarki pentarjihan di atas. Larangan ini bukan berarti larangan secara mutlak, tetapi selama tidak ada filterasi dengan kitab-kitab adisi revisi tersebut sesuai aturannya. Filterasi itu juga dilakukan pada kitab-kitab syafiiyah yang kontemporer sekarang. Selama belum ada legalisasi kitab-kitab edisi revisi ketiga zaman kontemporer sekarang. Tetapi menurut riwayat yang belum bisa saya pastikan keabsahannya bahwa edisi revisi ketiga Mazhab Syafii pada zaman kontemporer sekarang adalah karya-karya Syeikh Wahbah Zuhaili, Imam Ali Jumah, Syeikh Said Ramadhan al-Buthy, dan Syeikh Yusuf al-Qardhawi.

Maka diharapkan bagi penganut Mazhab Syafii agar taat kepada Qanun Bermazhab Syafii bagi Muqallid tersebut supaya fikih yang kita amalkan sesuai dengan manhaj ilmiah yang telah ditetapkan oleh ulama syafi’iyah. Semoga.!