Dayah Teungku Chik Tanoh Abee Salah Satu Tertua Di Asia Tenggara

DIDIRIKAN seorang ulama asal Baghdad, Fairus Al Bagdadi pada masa Kesultanan Iskandar Muda tahun 1625 Masehi. Dayah (Pesantren) Teungku Chik Tanoh Abee di Kecamatan Seulimuem, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, merupakan salah satu pesantren tertua di Asia Tenggara yang. Saat itu, ulama asal Negeri 1001 Malam ini hijrah ke Aceh dan menyebarkan agama Islam bersama tujuh saudaranya.***

Semula, Dayah Teungku Chik Tanoh Abee didirikan hanya berupa surau kecil di Data Sigeupoh, sekitar empat kilometer dari lokasi Dayah Teungku Chik Tanoh Abee saat ini.

Selain digunakan sebagai tempat menyebarkan ilmu agama, juga dijadikan sebagai tempat eksekusi hukuman cambuk bagi masyarakat yang melanggar ketentuan syariat Islam pada masa itu. Seiring berjalannya waktu, dayah yang semula berada di Data Sigeupoh ini, akhirnya dipindahkan ke kawasan perkampungan warga.

Dayah yang telah mampu mencetak berbagai santri yang tersebar di berbagai pelosok ini pernah dipimpin oleh sejumlah ulama lain setelah pendirinya kembali ke negaranya saat memasuki usia tua. Namun, dayah ini mencapai puncak kejayaan pada masa pimpinan Syeikh Abdul Wahab yang lebih dikenal dengan Teungku Chik Tanoh Abee. Sehingga, dayah tersebut lebih dikenal dengan sebutan Dayah Teungku Chik Di Tanoh Abee.

Selain sebagai tempat pembentukan karakter ulama, semasa kepemimpinan Teungku Chik Tanoh Abee, dayah ini juga dijadikan tempat berkumpulnya ulama Aceh seperti Teungku Chik Di Tiro dan beberapa ulama lainnya untuk bermusyawarah dan mengatur strategi melawan kolonial Belanda,” terangnya. Setelah meninggal Teungku Chik Tanoh Abee pada tahun 1894, dayah yang berjarak sekitar 42 kilometer ke arah timur Kota Banda Aceh atau sekitar tujuh kilometer ke pedalaman sebelah utara Ibukota Kecamatan Seulimuem, dikelola secara turun temurun.

Dari Syeikh Abdul Wahab, kemudian diteruskan kepada Syeikh Muhammad Sa’id. Dari Muhammad Sa’id, pesantren ini diurus oleh Syeikh Muhammad Husen, kemudian Teungku Muhammad Ali. Hingga kemudian jatuh kepada Teungku Muhammad Dahlan atau yang lebih dikenal Abu Dahlan Tanoh Abee.

Semasa kepemimpinan Abu Dahlan, yakni pada tahun 1984 hingga 2007, dayah ini kembali mencapai puncak kejayaan. Ribuan santri dari berbagai pelosok menuntut ilmu di dayah tersebut. Tak sedikit di antara santri dari Dayah Tgk. Chik Tanoh Abee yang telah mendirikan pondok pesantren sebagai wadah memanfaatkan ilmu yang didapatnya.

Setelah Abu Dahlan meninggal dunia pada tahun 2007, dayah ini dikelola oleh istrinya atau santri. Sehingga, kalangan masyarakat di sana kerap memanggilnya “Ummi”. Dalam mengelola dayah, Ummi dibantu oleh menantunya, Teungku Ridwan Tanoh Abee.

***

Tgk. Haji Muhammad Dahlan Al-Fairusi Al-Bagdadi yang mendirikan Dayah Tanoh Abee pada tahun 1627 M. Dia merupakan ulama generasi kesembilan dari keturunan langsung Syech Fairus. Syech Fairus sendiri adalah seorang ulama Sunni yang memiliki asal-usul dari Baghdad dan menjadi pengembang Islam di Aceh melalui tarekat Shattariyyah yang diajarkannya.

Dalam konteks perkembangan tarekat Shattariyyah di Aceh secara keseluruhan, alur silsilah yang dikembangkan keturunan Syech Fairus ini tergolong unik karena tidak melalui Syech Abdurrauf Ali al-Jawi—yang dianggap sebagai khalifah utama tarekat Shattariyyah di Aceh khususnya dan di dunia Melayu-Indonesia umumnya.

Dalam naskah Shattariyyah karangan Teungku Muhammad Ali, yang merupakan orangtua dari Abu Dahlan disebutkan bahwa, Abu Dahlan mengambil baiat tarekat Shattariyyah dari Syech Abdul Wahab dan kemudian secara berurutan mengambil baiat dari Syech Muhammad As‘ad Tahir, dari Syech Muhammad Said Tahir, dari Syech Mansur Badiri, dari Syech Mula Ibrahim al-Kurani, dari Syech Ahmad al-Qushashi, dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw (Fakhriati 2006). Umumnya, sebelum sampai kepada Syech Mula Ibrahim al-Kurani dan Syech Ahmad al-Qushashi, nama Abdurrauf Ali al-Jawi selalu disebut dalam hampir semua silsilah tarekat Shattariyyah yang dijumpai di dunia Melayu-Indonesia.

Kini, Abu Tanoh Abee telah tiada, namun masih terngiang pesan yang diucapkannya pada Agustus 2005 lalu: khazanah naskah yang telah lama dipeliharanya seyogyanya dijaga bersama!

Dulu, ia memang cenderung protektif terhadap naskah-naskah tersebut, sehingga tidak sembarang orang bisa mendapatkan informasi berkaitan naskah-naskah yang menjadi koleksi dayahnya. Ini semata karena amanat dari kebanyakan sanak famili yang menghibahkan naskah-naskah tersebut yang tidak menginginkan terlalu banyak pihak "mengganggu" pusakanya. Selain itu, karena pengalaman pahit adanya tangan-tangan jahil yang tidak bertanggungjawab ketika diberi kesempatan untuk mengakses naskah-naskah.

Namun, setelah ia melihat kenyataan musnahnya sebagian khazanah budaya Aceh di tempat lain akibat gempa dan tsunami, dan menyadari betapa rentannya kertas yang digunakan sebagai alas naskah itu, ia pun sadar bahwa berbagai upaya pemeliharaan naskah-naskah warisan leluhur tersebut harus dilakukan bersama-sama. Abu Dahlan sempat memperlihatkan koleksi naskahnya kepada mereka yang berkunjung ke dayahnya, bahkan koleksi naskah yang tersimpan di kamar pribadinya sekali pun.***

Sumber: modusaceh.co