Baiturrahman; Menanti Walet Kembali

Oleh:Muhammad Yakub Yahya*

Jika walet ada di gua dan pertokoan tinggi, walet juga ada di bawah kubah Masjid Raya Baiturrahman. Sampai beberapa tahun sebelum tsunami. Sore dan malam dia bermain dengan burung hujan (cicém ujeuen). Kadang ada jamaah mengira yang di atas hitam itu semua walet. Padahal sebagian walet dan kebanyakan saudara walet. Namun tahinya sama-sama mengotori lantai, baju, dan ruang masjid. Meskipun bau, riuh, dan kotor, sarangnya diminati dan diperebutkan.

Panen sarangnya saat masih di masjid memang kita tak banyak tahu: ke mana dan berapa. Meskipun ada laporan rutin. Akhirnya, entah dia memang peka atau alasan lain, dia pun angkat kaki ke 'rumah' lain.

Nah, beberapa tahun pascatsunami, jelang diberlakukukan Peraturan Gubernur (Pergub) No 37 Tahun 2013 tentang pengelolaan Masjid Raya Baiturrahman -- terdiri susunannya Dewan Pembina, Dewan Pengarah, Imuem Tjiek, Kepala Badan, Sekretariat, Bidang Imarah, Bidang Tarbiyah, Bidang Riayah, Bidang Tanmiah, Bendahara dan Unit Fungsional-- masjid kebanggaan rakyat Aceh ini penanganannya mau dikendalikan oleh Badan Pengelola Masjid Raya Baiturrahman (BPMRB).

Harapan saat itu, maksud Pergub itu, akan terciptanya peningkatan pelayanan dan bimbingan kegiatan yang bersifat keagamaan di Masjid Raya (Gema Baiturrahman, 6 September 2013).

Jadi, jamaah bisa berharap, siapa pun yang duduk ‘di atas’ Masjid Raya Baiturrahman nanti, Wali Nanggroe sekalipun, bisa memahami dan ikuti ritme Baiturrahman yang memang rumit dan unik.

Kini lain lagi, Baiturrahman di bawah  koordinasi Dinas Syariat Islam Aceh di bawah UPTD. Asa jamaah belum berubah, meskipun perubahan harus diawali dari diri jamaah sendiri; atau perubahan eloknya harus duluan dari 'penikmat barakah dan tuah masjid'.

Kita yang suka membanding-bandingkan seperti di bawah ini, memang kadang benar. Rumit dan unik di sini, di Baiturrahman. 

Mungkin tak kelihatan semua ke luar, dari soal pengemis yang tak shalat, tukang kodak ada yang mangkir shalat, jamaah yang berbeda ‘mazhab’ dan ‘aliran’, orang gila, nazar, tamu asing, selop hilang, piasan, kenduri, jualan, lift mau ke menara, rerumputan, kolam ikan, anggaran, pengajian, lembaga keuangan dalam masjid, harta waqaf, isi khutbah dan ceramah puasa, hingga oknum remaja yang pacaran.

Dari pernikahan, pengkaderan, penerbitan, perpustakaan, perparkiran, kebocoran, kebisingan, hingga anak-anak kami yang loncat-loncat, di halaman selatan, agar struktur masjid yang indah itu tak sia-sia.

Moga, walet yang minggat, bisa kembali, menambah pendapatan masjid, begitu kira-kira.

Ada jamaah Aceh, mungkin anda mungkin saya, yang pernah shalat di luar Aceh, di Masjid Jamik, Masjid Besar, Masjid Agung, Masjid Raya, Masjid Negara, atau hanya sejenak berdiri dan duduk dalam mushalla, mungkin itu di komplek bandara Pulau Jawa, suka membandingkan tatakelola masjid di sana, dengan di sini. 

Atau kita sempat wudhuk dengan kran air yang mengalir deras, bening, dan i’tikaf dengan sejuk dan tenang, dalam masjid yang indah, di luar negeri, di Singapura atau Malaysia misalnya, lalu kita senang membandingkan pelayanan dan kemakmuran, di wilayah yang mungkin asing dengan formalitas dan simbol syariat, dengan di sini yang bersyariat.

Kita merasakan khusyuk dan nyamannya, kala menyerahkan diri pada Allah, lewat sujud dan rukuk, dan kita cakap membagi kisah itu sepulang dari sana, barangkali dengan sedikit ‘bumbu-bumbu’ penyedap itu. Sembari membandingkan-bandingkan pembangunan ekonomi masjid orang dengan masjid kita.

Kita juga kisahkan sepenggal kisah gerbang, gapura, lahan parkir, senyuman khadam, toilet, jalan dari parkir ke ruang wudhuk, sekat-sekat kamar mandi, jalan suci sejak dari air cuci kaki ke tangga mushalla, atau sajadah tabal di sana, kisah itu pun kita bagikan pada rekan sewarung kopi, sepulang kita ke Aceh, meski telat shalat.

Bisa juga, suka bercerita ini, satu pertanda kita mungkin rajin shalat, di rantau, atau kita memang akan dinilai banyak jam terbang dengan pesawat, artinya kita orang sibuk dan penting! Apalagi sempat ke satu masjid di Yogyakarta, yang baik sekali manajemennya.

Saat kita balik ke sini, lewat Bandara Sultan Iskanadar Muda, setelah kita dan sopir penjemput, sempat juga mampir ke kakus, atau melewati mushalla di bandara dan masjid kampung kita, di Aceh Besar, Banda Aceh, dan di pelosok Aceh lainnya, kita masih mebanding-bandingkan.

Mungkin ini secuil kisah kawan saya, atau sejumput cerita sahabat anda, atau memang kita yang merasakan dan pernah curhat (curahan hati) atau mengeluh pada kawan di samping.

Kita juga rutin singgah ke Masjid Raya Baiturrahman, sebelum berkelana ke mana-mana, dan saat pulang ke sini, ke Kutaraja dan ke Aceh, yang kabarnya --dan memang fakta dan realita di sini, di kampung miskin atau kaya, kalangan nelayan dan tani, swasta dan aparatur negara, berlomba-lomba bikin masjid, tapi kita dikritik-- bermalas-malasan dalam memakmurkannya.

Kata kita lagi, dulu saya bisa shalat dengan nyaman dan teduh dalam Rumah Allah ini, juga dalam masjid kampung, dalam mushalla di kediaman saya, atau dalam Masjid Raya Baiturrahman ini.

Namun sekarang, kenyamanan bermunajat dan berjamaah dalam masjid, tak lagi kita rasakan. Fisik masjid yang berkubah hitam tujuh buah, lima menara yang menjulang, cat yang berganti warna, kadang dengan tahi burung hujan pula, televisi yang mewah tapi membisu dan gepal, pengeras yang kadang suara serak dan lembek, dan kipas angin yang hidup mati, loteng yang terus direhab karena tempel di sini bocor di sana, sapaan penjaga dan pelayan yang ramah atau marah, yang kita harapkan kian menawan, yang bisa menarik kita ke dalamnya, redup dan melemah tarikan itu, hari ini.

Kita ingin meraih kesyahduan dan kelezatan shalat dan zikir sebagaimana masa lalu, saat pertama sekali menginjak kaki ke halaman yang luas atau di rerumputan, saat menapaki teras yang hangat, dan waktu merapat meramaikan shaf-shaf yang bergaris hitam dalam Masjid Raya, tapi tetap belum sama dengan rasa dengan kelezatan tempo dulu. Kenapa?

Kemasygulan dan rasa gersang batin ini, bisa dirasakan oleh siapa saja, Anda dan saya. Apalagi sudah bilangan, belasan, atau puluhan tahun menatap, keliling, dan shalat dalam sebuah masjid yang sama.

Jika hadir dan tiba ke masjid lain, apalagi untuk pertama, kedua, dan ketiga kali, kita masih betah dan menikmati, desahan dingin angin, dari celah dinding dan jendela Rumah Allah, tapi ini lain, gersang saja, mungki sudah biasa. Kita masih merasakan getaran kedekatan dengan Khaliq yang menusuk ke dalam, setiap baris zikir, dengan lisan dan hati, jika ke masjid sekitar, atau luar Aceh, ini biasa rasanya biasa-biasa saja.

Juga saat kita membuka Alquran, dari rak berdebu dan terawat, dengan lembut dan beradab itu, tensi keteduhan kita naik, jika di masjid yang jarang kita masuki, tapi di sini belum naik-naik juga angka ketengan batin.

Juga saat muazzin yang tua atau muda, yang qari atau bukan qari, yang santai atau buru-buru dalam azannya, memanggil hayya ‘alash shalaah, kita cepat segera terpanggil, jika sesekali ke ‘masjid orang’.

Namun di sini di ‘masjid sendiri’, kadang kian menjauh kita menuju ke suara itu. Kadang jika sudah keseringan melangkah ke masjid, ke taman surga itu --meski sebelum shalat diawali dengan qari yang aduhai suaranya dan lagam lagunya, disiarkan lewat radio, apalagi ayatnya dicomot di sana sini, pertanda piawai sekali dia membawa tujuh dan sepuluh macam irama-- lalu rasa teduh, dan getaran itu tak kunjung datang lagi. Di sini, mungkin kita dihadapkan pada dua tanda, dua kemungkinan.

Pertama, memang ruh masjid kita mungkin yang sudah berubah, dari nilai takwa ke orientasi duniawi, pamer, riya, matarialistik, politis, dan ajang berlomba-lomba dalam meninggikan dan mengumumkan isi celengannya.

Eloknya masjid, bagai Masjid Quba dan Nabawi yang perdana di dunia, yang bisa menawan kita masuk ke sana, si kafir sekali pun betah di terasnya, menyimak ceramah Nabi Saw.

Eloknya masjid bagaikan masa khalifah dan generasi emas di masanya, dengan transparansi keuangan dan servis maksimal untuk kemakmuran.

Namun kita saksikan dan kita praktekkan, kadang sebagian manajemen masjid dan mushalla, amat tertutup, lama sekali stempel yayasan dan pengurus hariannya, di tangan pengurus yang merangkap-rangkap jabatan pula. Apalagi kita yang banyak kerjaaan di luar dengan amalan dalam masjid.

Sejatinya masjid bisa gratiskan uang parkir jamaah tetap, pemakmur, tamu, dan aktivis masjid, juga di pintu kamar mandi, pintu cuci badan usai hajat besar dan kecil --sebab kita mengandalkan kas masjid dari sektor lain, mungkin waqaf, zakat, infaq atau lainnya-- yang akan memurahkan dan memudahkan jamaah, kaya dan miskin, ke area masjid.

Mestinya masjid bisa menyatukan dan memanggil hati-hati kaum tanpa kelas, dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga tua renta, untuk memenuhi shaf pertama hingga ke belakang, tapi justru kepengurusannya yang retak, tak mulia akhlak, dan suka memarahi anak-anak, akan mewariskan kesepian, saat generasi tua diusung ke balik tanah kuburan.

Ini potret jamaah kita di mana-mana, senyap, tetua saja yang batuk-batuk meramaikan separuh shaf, kecuali magrib saja yang sejenak riuh dengan amin, yang diimami oleh imam yang hafalannya ayat dan surat itu itu saja, sekadar kebutuhan sahalat tarawih dan witir, yang setahun sekali itu.

Jelang magrib, seusai mengaji, sambil menanti ayah-ibu, atau kakaknya menjemput, sejumlah anak Taman Pengajian Al-Quran (TPQ) Plus Baiturrahman melanjutkan ‘kerja’nya, yaitu main bola, di halaman selatan Masjid Raya Baiturrahman. Dunia anak, memang belajar sambil main, main sambil belajar. Kondisi dan sistem hari ini membuat pengurus masjid, pengurus TPQ, dan ustadz, harus membuka lagi ‘bab-bab’ peran masjid masa awal Islam, ternyata dia bisa tempat latihan, mengaji, rapat, pembelajaran dan seterusnya. 

Ustadz, guru, dan ayah-ibu, wajib tahu itu ‘lumrah’, apalagi anak mengaji sore, di jam-jam sisa. Ramai ke masjid dan mushalla dengan baju les dan tas sekolah, tanpa kitab dan alat untuk mengaji, letih dan bau.

Kami, sering ditegur jamaah dan pengurus masjid, agar anak tidak main-main seperti itu di halaman. Alasannya, mungkin tidak ‘lazim’ anak main bola, mungkin rumput yang tidak ingin diinjak, atau bola lampu akan pecah. Tapi kami menjelaskan, kami berusaha mengawasi, agar anak bermain bola tidak seserius main di pantai, soal pecah lampu, kita akan ganti. Tapi lama-lama komplain tidak seru lagi, melihat ‘kecuekan’ kita.  

Kedua, memang diri mungkin kita yang kian berumur, kian yang akrab dengan maksiat, baik makanan, minuman, pembicaraan, tontonan, pekerjaan, dan lingkungan kita.

Jadi ibadah pun di mana-mana, di Masjid Raya yang terindah di Asia Tenggara pun, bakal tak bisa khusyuk dan nyaman, karena hati berkarat dan bernoda. Akhirnya dengan anak mengaji pun kita marah, dengan anak kecil pun kita kasar.

Ini evaluasi diri kita, mungkin dulu sebelum ke sana ke mari, sebelum ke Jawa dan Malaysia, sebelum suka membandingkan kesejukan dan kelezatan ibadah dalam masjid lain, kita bersih diri dan hati.

Kini, mungkin kita kotor batin dan jiwa, yang mengahmbart Nur Ilahi masuk ke sini. Jadi, bukan lokasi dan masjid mana yang bias meneduhkan qalbu, tak pula kepengurusan, layanan wudhuk, perparkiran, imam dan muezzin yang bermasalah, tapi kita tata kembali setiap bisikan, khayalan, dan arah kemauan hati kita, kian suci, tak banyak noda lagi

Jadi ibadah pun di mana-mana, di Masjid Raya yang terindah di Asia Tenggara pun, bakal tak bisa khusyuk dan nyaman, karena hati berkarat dan bernoda. Akhirnya dengan anak mengaji pun kita marah, dengan anak kecil pun kita kasar.

Ini evaluasi diri kita, mungkin dulu sebelum ke sana ke mari, sebelum ke Jawa dan Malaysia, sebelum suka membandingkan kesejukan dan kelezatan ibadah dalam masjid lain, kita bersih diri dan hati.

Kini, mungkin kita kotor batin dan jiwa, yang mengahmbart Nur Ilahi masuk ke sini. Jadi, bukan lokasi dan masjid mana yang bias meneduhkan qalbu, tak pula kepengurusan, layanan wudhuk, perparkiran, imam dan muezzin yang bermasalah, tapi kita tata kembali setiap bisikan, khayalan, dan arah kemauan hati kita, kian suci, tak banyak noda lagi.

Ini di antara obat agar ibadah apapun yang kita tunaikan bisa melezatkan, bisa kita nikmati kelezatan dan kegurihannya. Yakni taubat, minta ampun dan komitmen untuk tidak mengulangi kemaksiatan, serta menambah-nambahkan kebaikan. Sebab, dosalah yang bikin hati kita gelap, dan menghambat kelezatan amal ibadah.

Andai ibadah sudah lezat, kita akan ingin berlama-lama, misal dalam shalat, dalam ikuti kajian, dan lainnya, bak seseorang yang hobbi menonton bola, atau piasan dunia, yang tidak ingin cepat usai. Meskipun ajang syahwati dan duniawi itu tengah malam dalam panas dan nyamuk, serta saat pademi.

Kita mohon taufiq (bantuan Allah untuk bisa ketagihan dan merasakan nikmat dan lezatnya iman dan amal) pada Allah SWT. Disertai terus mohon ampunan Allah, dalam bingkai taubat. Ibadah kita, apa pun, mesti berada dan kita iringi dengan khauf (kuatir atau cemas jika tidak Allah diterima) dan raja’ (mengharap dikabulkan). Lalu, lewat bantuan Allah, kadangkala kita hanya bisa taat, belum bisa diteria amaliah kita. Tanda amal diterima, tentu banyak lagi, di antanya ialah bisa merasakan lezat tadi.

Apalagi shalat dan i’tikaf di Masjid Raya Baiturrahman, di pusat kota. Dahulunya ini masjid Kesultanan Aceh. Masjid yang pernah dibakar habis pada agresi tentara Belanda kedua (Shafar 1290/April 1873 M), yang menewaskan Mayjen Khohler --sejak 1996 ada TPQ Plus Baiturrahman ini-- salah satu masjid yang terindah di Indonesia yang memiliki bentuk yang manis, ukiran yang menarik, halaman yang luas dan terasa sangat sejuk, elok, apabila kita berada di dalam.

Masjid yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada 1022 H/1612 M ini, termasuk dalam katagori sebagai salah satu dari 10 masjid termegah dan tercantik di dunia, apalagi sempat ada walet lagi. Rindu walet kembali. Syukran, maaf, assalamualaikum.

Muhammad Yakub Yahya ialah Kader ISKADA (1996), Direktur TPQ Plus Baiturrahman empat periode (2005-2017), dan Sekum Wilayatul Hisbah Aceh (2003-2004).