Tu Bulqani Pimpinan Dayah Al Ishlah Al-Aziziyah Yang Cinta Anak Yatim Dan Korban Konflik

Dikalangan anak korban konflik, Bulqaini adalah ’ayah’ teladan. Berkat ’tangan dingin’ lelaki itulah banyak anak yatim piatu di Aceh bisa menikmati hidup tanpa dendam. Sebuah dayah pun didedikasikan untuk itu.

Markaz Al Ishlah Al-Aziziyah nama lembaga itu. Selain sebagai pusat pendidikan agama, dayah ini juga sentra pendidikan untuk anak-anak Aceh korban kekerasan. Luasnya hanya 3.000 meter persegi. Lokasinya pun dikelilingi rawa dan genangan air.

Saat ini lembaga itu sudah mampu menampung 93 anak yatim korban konflik dan korban tsunami. Lembaga itu dibangun atas jerih payah Tgk Bulqaini sendiri. ”Ya, hanya inilah yang sanggup saya beli untuk menampung anak-anak,” katanya.

Dia membeli areal itu pada 2001. Pilihannya jatuh ke Banda Aceh, karena pada saat itu kondisinya relatif aman. Ayah tiga putra itu tadinya tidak menyangka bisa memenuhi mimpinya, yakni membeli tanah.

Soal tanah ini, Bulqaini bercerita. Secara kebetulan, pada 2001 dia diundang ke Amerika Serikat untuk mengikuti perkembangan Islam di negeri adidaya tersebut. Tapi sebelum itu tercapai, ada kisah lain yang selalu menyentak-nyentak batinnya.

Suatu ketika, kisah dia, saat dirinya membaca sebuah tabloid ibukota yang memuat foto Letjen TNI Prabowo di-cover depan. Saat itu Prabowo adalah Danjen Kopassus. Tabloid itu lalu ia tunjukkan kepada sejumlah anak sekolah di kampungnya. ”Kah nyoe ka turi so nyoe, kalian kenal siapa ini,” tanya Bulqaini.

Jawaban yang didengar amat mengagetkan. Serentak anak-anak menjawab, ”Itu pai, pembunuh orang tua kami.” Mendengar itu, bumi yang dipijaknya terasa gempa. Terkejut bukan kepalang. Ia yakin, yang dituding itu bukan yang tergolek disampul majalah.

Namun, karena foto itu memperlihatkan seseorang yang berseragam militer. Beberapa anak di desa memang sangat trauma dengan tentara. Mendengar jawaban itu, pikiran Bulqaini menggelegak. ”Kalau dibiar Aceh akan penuh dendam di masa depan. Konflik tidak akan pernah selesai,” lirihnya.

Sejak saat itu, ia pun bertekad mendirikan pusat rehabilitasi anak agar dendam mereka bisa hilang. ”Saya ingin anak-anak Aceh melupakan dendam kesumatnya,” katanya. Kendati dia juga mengaku tak mudah melakukan hal itu, apalagi menyatukan dua dendam.

Mudah atau tidak, suami Rosmaida Umar, 27, tetap ingin mewujudkan mimpinya. Dan itu baru terlaksana selepas pulang dari Amerika Serikat pada 2001. Bulqaini bertandang ke negeri Paman Sam atas undangan Kedutaan Besar AS guna melihat perkembangan Islam, pendidikan dan budaya di sana.

Nah, sisa uang saku sebesar Rp35 juta itu dimanfaatkan untuk membeli sepetak tanah rawa di ujung Lueng Bata. Tahun 2002 baru pembangunannya dimulai. Di sinilah kemudian dia mengumpulkan ”dua dendam” anak-anak korban konflik. Baik itu yang dibunuh TNI/Polri maupun GAM.

Kecuali itu, tak ada yang istimewa di sini. Bangunannya amat sederhana, dibuat dari kayu. Hanya ada satu unit bangunan permanen yang belum selesai yang lantai duanya dipakai untuk tempat shalat.

Sementara asrama anak-anak dan tempat pengajian masih centang perenang, karena sedang dalam proses pembangunan. Departemen Luar Negeri sedang membangun dua unit asrama dan tempat belajar. ”Baru ini bantuan yang ada.”

Begitu pun, di dayah ini anak-anak yang terdiri dari 60 laki-laki dan 33 kaum hawa dididik Bulqaini. Rata-rata usianya mulai dari kelas SD sampai dengan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). ”Belum ada yang kuliah,” sebut pria yang disapa anak didiknya panggilan Tu ini.

Untuk pendidikan umum anak-anak ini disekolahkan. ”Semua biaya ditanggung oleh Al-Ishlah,” katanya. Untuk biaya rutin perbulan buat seorang anak mencapai Rp500 ribu. Itu berarti untuk 93 anak dia harus mengeluarkan dana lebih dari Rp46.500.000 perbulan.

Ini belum termasuk untuk 16 tenaga pengajar. ”Tenaga pengajar itu semuanya relawan,” kata dia. Karenya Bulqaini tak peduli latar belakang anak-anak itu. ”Siapa pun dia, baik itu anak korban aparat maupun kelompok bersenjata, jika butuh bantuan, akan kita bantu semampunya,” urai dia.

Bulqaini membiayai biaya pendidikan dan kehidupan anak-anak dari sumbangan orang-orang yang bersimpati. Bahkan, katanya dalam dua tahun terakhir dia mendapat subsidi rutin dari PTP Nusantara, Langsa.

”Bukan hanya dana rutin setiap bulan, awalnya mereka juga membantu membangun barak,” ujar Bulqaini. ”Ada juga donatur-donatur lainnya yang kini menetap di Medan.”

Kehidupan dayah sudah akrab dengan pria kelahiran 39 tahun lalu itu. Separoh kehidupannya dihabiskan di sana. Makanya tak heran jika Bulqaini sudah mengenyam pendidikan di beberapa dayah ternama di Aceh.

Contohnya, sebut saja Dayah Mudi Mesra Samalanga, Kab Bireuen. Kakeknya, Tgk Haji Hanafiah memimpin dayah tersebut. Lalu, pada 1987 dia belajar ke Dayah Malikussaleh di Panton Lab, Aceh Utara, kemudian ke Dayah Ulee Titi, Lambaro Aceh Besar.

”Waktu itu peta politik di Aceh Utara sedang memanas,” ujar Bulqaini yang lahir di Tanjongan, Kecamatan Samalanga pada 1968. Kini dia sudah dikaruniai tiga putra yakni, Muhammad Izzisyakir, 5 tahun, Muhammad Izziddin,3, dan Muhammad Izzil Hasani, 1.5 tahun.

Kelaziman teungku-teungku dayah di Aceh kerap menabalkan nama kampung di belakang namanya. Seperti Tgk Muhammad Daud Beureu-eh, Tgk Hasan Krueng Kalee, Tgk Abdul Wahab Seulimeum dan lain sebagainya.

Begitu pula dengan dia. Di belakang namanya ditambalkan nama kampung kelahiran, maka nama lengkapnya menjadi Bulqaini Tanjongan. Akhirnya Bulqaini pun bertekad memutuskan tali dendam dihati anak-anak Aceh yang menjadi korban konflik.

”Cara satu-satunya adalah dengan membimbing mereka yang masih punya bibit-bibit dendam. Kalau mereka sudah saling kenal, bertemu tiap hari dan bermain bersama dan berbagi duka, saya yakin mereka akan berdamai,” papar Tu Bulqaini. Semoga Teungku.