Kementerian Pesantren, Mengapa Tidak?

Oleh Tgk. Mustafa Husen Woyla, S.Pd.I*

Sejumlah pengasuh pondok pesantren (ponpes) di Jawa Timur, memberikan apresiasi terhadap kebijakan Pemerintah Aceh yang telah membentuk satu instansi khusus yang mengurus dayah (pesantren) di Aceh. Mereka berharap kiranya Pemprov Jawa Timur mengikuti jejak Aceh, bahkan para kyai sepuh setempat berharap pemerintah pusat terbuka mata untuk membentuk Kementerian Pesantren.

Setidaknya, itulah kesan awal yang ditangkap penulis saat sowan dan memperkenalkan diri kepada sejumlah kyai pengasuh ponpes di Jawa Timur, belum lama ini. Penulis bersama 50 guru dayah se-Aceh berkesempatan mengikuti program magang selama satu bulan (Agustus 2014) di berbagai ponpes di Jawa Timur. Program ini didanai oleh Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) Aceh.

Sesungguhnya, pesantren atau di Aceh disebut dayah, merupakan bagian dari sistem pendidikan Nasional. Jauh sebelum Indonesia merdeka, keberadaan pesantren atau dayah sangat berpengaruh bagi upaya pembentukan watak dan karakter bangsa. Bahkan, semangat dan pergerakan kaum santri dalam berjuang mewujudkan Indonesia merdeka, juga sangat diperhitungkan oleh kaum kolonial yang pernah menjajah bumi pertiwi ini.

Pada masa kolonialisme dari pondok pesantren lahirlah tokoh-tokoh Nasional yang tangguh yang menjadi pelopor pergerakan kemerdekaan Indonesia, seperti KH Hasyim Asyari, Tgk Chik Ditiro, Abu Hasan Krueng Kalee dan sejumlah tokoh pergerakan lain di seluruh Nusantara. Maka dapat dikatakan bahwa pada masa itu pesantren/dayah sudah memberikan kontribusi besar bagi terbentuknya Republik tercinta ini.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, perkembangan ponpes mengalami pasang surut dalam mengemban misinya sebagai pencetak generasi kaum muslimin yang mumpuni dalam bidang Agama (tafaqquh fid-din). Meskipun terkesan seperti dianaktirikan, pesantren sudah berhasil menyumbangkan sejumlah tokoh yang luar biasa untuk bangsa Indonesia. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), misalnya, yang merupakan produk pesantren, dengan segala kelebihan dan kekurangan pernah menduduki kursi Presiden RI.

 Institusi kepesantrenan
Wacana pembentukan sebuah institusi yang memiliki otoritas setingkat kementerian, yang khusus membina/mengurus masalah-masalah kepesantrenan, antara lain dengan pertimbangan: Pertama, Kementerian Agama RI saat ini dinilai sudah terlalu gemuk. Akibatnya, beberapa tugas pokok Kementerian Agama belum bisa dilaksanakan dengan baik. Misalnya, muncul beberapa kasus dalam penyelenggaraan ibadah haji. Karena itulah, muncul wacana untuk membentuk Kementerian Haji, Zakat, dan Wakaf.

“Hal ini diperlukan karena begitu besar tugas Kementerian Agama sehingga terkesankan hanya terkonsentrasi pada persoalan haji saja,” kata Hafidz Taftazani, Wakil Ketua Asosiasi Bina Haji dan Umrah Nahdlatul Ulama (Asbihu-NU) pada “Seminar Nasional Rekonstruksi Haji Menuju Perhajian yang Bersih dan Berwibawa” yang berlangsung di Jakarta, pada 3 Juli 2014 lalu. (Sumber: dok. Humas BWI).

Kedua, besar penerima manfaat. Kepala Pusat Pengembangan Penelitian dan Pendidikan Pelatihan Kementerian Agama H Abdul Jamil mengatakan, jumlah santri di seluruh ponpes yang ada di Indonesia yang telah terdaftar di Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren di 33 provinsi kini mencapai 3,65 juta orang, yang tersebar di 25.000 pondok pesantren (Republika.co.id – update 2011).

Hampir sebanding dengan penduduk provinsi Aceh. Tentunya jumlah tersebut akan terus bertambah seiring dengan terjadi lonjakan jumlah penduduk yang akan mencapai 300 juta jiwa pada 2020 nanti (Badan Pusat Statistik). Dari banyak hal yang mesti ditangani oleh Kementrian Agama serta semakin bertambah santri dan jumlah ponpes di Indonesia sudah selayaknya mempertimbangkan usulan yang sangat rasional tersebut.

Ketiga, perbandingan dengan kementerian yang sudah ada. Mari kita bandingkan keurgensian Kementerian Pesantren dengan Kementerian Kelautan, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian RI dan seterusnya dengan Kementrian Pesantren. Logikanya, jika mengurus masalah makan saja butuh kepada beberapa kementrian, tentu untuk mengurus, membina, memajukan dan mengontrol pesantren yang turut mendidik dan melahirkan sumber daya manusia (SDM) jauh lebih penting dari urusan perut semata.

Selama ini Pemerintah Indonesia berasumsi bahwa pesantren di bawah Kementrian Agama masih sanggup mengurus segala sesuatu yang berkenaan dengan kepesantrenan. Di Negara kita, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) saja yang berkonsentrasi mengurus pendidikan, berdasarkan data Education For All Global Monitoring Report 2012 yang dikeluarkan oleh UNESCO setiap tahunnya, pendidikan Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 120 Negara di seluruh dunia.

Kemudian data Education Development Index (EDI) Indonesia, pada 2011 Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 127 negara (okezone.com). Ini berarti, institusi yang fokus saja tidak maksimal, apalagi Kementerian Agama yang membawahi beberapa direktorat.

Keempat, pesantren butuh Kementerian bukan Hari Nasional Santri. Setiap kali pemilu, khususnya pemilihan presiden (pilpres), para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) kerap bertandang ke pesantren untuk meminta dukungan para kyai dan santri. Semakin banyak pesantren yang bisa dirangkul semakin tinggi pula tingkat elektabilitas capres/cawapres tersebut. Untuk merangkul orang Pesantren sang Capres-Cawapres Jokowi-JK pun memberi “angin surga” kelak jika terpilih akan menetapkan 1 Muharram tahun Hijriyah sebagai Hari Santri Nasional.

Jika dianalisa lebih dalam, tidak banyak manfaat jika pemerintahan Jokowi-JK akan memenuhi janji politiknya di masa kampanye berupa Hari Santri Nasional, kecuali hanya sebatas seremonial belaka. Namun, jika pesantren punya Kementerian sendiri tentu manfaat untuk pesantren jelas dirasakan secara permanen oleh semua unsur di pesantren, yakni; pesantren, kyai, guru dan santri.

Hal itu sudah dirasakan oleh masyarakat Aceh dengan berbekal keistimewaan dan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), sudah melahirkan Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD). BPPD yang berkonsentrasi mengurus segala sesuatu yang berkenaan dengan dayah/pesantren di Aceh.

Dan, kelima, BPPD Cikal bakal Lahir Kementrian Pesantrenan;
Suatu yang patut disyukuri dan dibanggakan, Aceh sudah beberapa kali menjadi inisiator lahirnya sejumlah lembaga atau institusi pemerintahan RI. Bappeda jadi Bappenas, Dekrada jadi Dekranas, MPU jadi MUI, JKA jadi JKN, dan yang terakhir pimpinan daerah melalui calon nonpartai (independen) juga bermula dari Aceh. Jadi bukan suatu hal yang mustahil lahirnya Kementerian Pesantren cikal bakalnya adalah BPPD. Semoga!

* Penulis adalah Guru Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng Kalee, Siem, Aceh Besar. Sekjen Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA). Email: mustafa.husen@yahoo.com