Covid-19 Dan Wabah Penyakit Dalam Sejarah Islam

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*

Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin. Ketika Corona Viruz Diseases (Covid-19) dari Wuhan, China, melanda seluruh dunia, umat muslim mencari hikmah dari catatan sejarah Islam. Kitab-kitab hadits dan sejarah menyajikan jawaban yang bermacam-macam tentang tha’un, judzam, barash, dan lainnya.

Sementara ini kita semua percaya pada solusi-solusi dunia medis seperti isolasi diri dari publik, menghindari kontak fisik dengan penderita, pentingnya berjuang untuk pengobatan, bahkan  ada yang bersikap pasif atau menerima penyakit begitu saja. Kesimpulan-kesimpulan ini digali dengan pendekatan takwil atas teks-teks dalam kitab-kitab hadits.

Misalnya, dalam buku Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam karya Abdus Salam Harun dijelaskan mengenai kisah para sahabat yang terjangkit wabah. Kisah itu salah satunya terekam dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah. Dari Aisyah rhadiyallahu anha, dia berkata, “Ketika Rasulullah Saw. tiba di Madinah, kota itu adalah sarang wabah penyakit demam (barash). Banyak dari sahabat Rasulullah Saw yang tertimpa wabah tersebut. Namun Allah Swt menghindarkan Rasul-Nya dari penyakit itu. Ketika Abu Bakar, Amir bin Fuhairah, dan Bilal tinggal di dalam satu rumah, mereka semua terserang penyakit demam. Maka aku pun datang untuk menjenguk mereka..”

Singkat cerita, Abdus Salam Harun mengisahkan bahwa Nabi kemudian melarang sementara waktu Aisyah untuk menjenguknya lagi, juga melarang sahabat lainnya menemui keluarga atau berdekatan dengan yang sedang terjangkiti wabah demam. Kemudian Nabi berdoa: “Ya Allah, pindahkanlah wabah yang menimpa penduduk Madinah ke Mahya’ah.”Mahya’ah saat itu adalah daerah Juhfah, sebuah daerah yang hampir tak berpenghuni. Jikapun ada, antara rumah penduduk satu dengan yang lainnya sangat jauh. Jadi virus bisa dipastikan tidak bisa berkembang.

Selain wabah demam, wabah kusta atau sejenis lepra (judzam), juga pernah melanda di Zaman Nabi. Wabah tersebut salah satu penyakit yang menular dan mematikan sebelum diketahui obatnya. Penarikan kesimpulan dari hadits di atas ini berupa pentingnya konsep isolasi diri atau karantina. Konsep isolasi ini diperkuat oleh para penafsir teks klasik dengan hadits lain yang berbunyi: “Jangan kalian terus-menerus melihat (mendekat) orang yang mengidap penyakit judzam,”(HR. Ibnu Majah).

Hadist ini dinilai shahih dan sesuai teori medis, bahwa bakteri atau virus penyebab kusta itu ternyata mudah menular antar manusia. Karena itu Nabi Muhammad memperingatkan umatnya jangan berada dekat dengan orang yang sedang terjangkiti, bahkan suatu wilayah yang sedang terkena wabah. Hadist itupun mirip metode karantina yang kini dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit. 

Sementara kisah lain datang dari wafatnya Abu Ubaydah bin al-Jarrah akibat tertular Tha’un yang diabadikan dalam kitab al-Musnad karya Imam Ahmad bin Hambal, kitab al-Muwatha’karya Imam Malik, dan kitab Shahih al-Bukhari karya Imam al-Bukhari. Kesimpulan yang ditarik dari riwayat hadits ini berupa pentingnya menghindari penyakit tha’un dan memperjuangkan pengobatannya.

Kesimpulan demikian diperkuat dengan banyaknya para sahabat yang meninggal karena sikap pasif mereka menghadapi wabah. Nama-nama lain sahabat Nabi yang meninggal gara-gara prinsip hidup mereka yang “pasif”adalah Muadz bin Jabal dan putranya yang bernama Abdurrahman bin Muadz bin Jabal. Penafsir kemudian menghadirkan figur Amr bin Ash, yang lebih aktif menghindari penyakit, sebagai teladan bagi kita untuk berjuang keras menolak penyakit tha’un.

Sabda Rasulullah saw yang mengarah pada penghindaran dari wahab penyakit itu berbunyi: “Jika kalian mendengar wabah tersebut menjangkiti satu negeri, maka janganlah kalian menuju ke sana. Namun jika dia menjangkiti suatu negeri dan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dan lari darinya,”(HR. Bukhari-Muslim).

Penarikan konsep-konsep seperti isolasi dan sikap aktif menjauhi penyakit, tampak menarik karena menemukan praktik konkritnya dan kontekstualisasinya. Negara-negara di dunia dalam menyikapi Covid-19 menerapkan prinsip isolasi;seperti pembatalan segala jenis penerbangan antar negara, anjuran tidak saling kontak fisik dengan sembarang orang, dan perjuangan para ilmuan menemukan anti-virus corona.

Semua penarikan kesimpulan analitik di atas itu baik. Hal ini, setidaknya memberikan legitimasi moril atas kebijakan politik negara-negara hari ini. Namun, ada satu hal yang dilupakan dan ini sangat prinsipil sekali. Penyakit Tha’un yang berulang kali disebut dalam hadits Nabi memiliki konteks sejarah panjang.

Sebuah disertasi ditulis oleh Ahmad al-‘Adawi (2018) untuk mendapatkan gelar doktor dari Fakultas Adab, Universitas Kairo, Giza, Mesir. Ahmad al-‘Adawi ini seorang dosen Sejarah Islam di Universitas Kairo ini, serta dosen ilmu teologi di Universitas Canakkale Merkez, Turki. Isi disertasinya adalah sejarah keruntuhan Dinasti Umayah akibat Tha’un.

Bagi al-‘Adawi, keruntuhan Dinasti Umayah ini akibat penyakit Tha’un yang tak kunjung menemukan obat penyembuhnya. Penyakit ini terus berlanjut dari masa Umayah ke Abbasiyah, bahkan masih menghantui Dinasti Utsmaniyah. Kasus-kasus Tha’un yang diangkat dalam disertasi itu mulai dari Irak, Syam, Mesir, hingga wilayah Afrika Utara.

Kesimpulan al-‘Adawi, keruntuhan banyak dinasti tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat tentang faktor-faktor penyebab dan cara-cara penanggulangannya. Mereka sebenarnya sudah menerapkan cara Nabi, yaitu mengisolasi diri. Tetapi kondisi ekonomi dan politik yang jauh berbeda dengan masa Nabi, membuat Dinasti Umayah kesulitan menerapkan kebijakan pengisolasian penduduknya yang sedang terserang wabah, apalagi tingkat kepadatan penduduk dan dinamika ekonomi menjadi kendala utamanya, sehingga menyebabkan berjatuhnya korban secara massal..

Kepanikan itu kemudian mendorong penguasa Dinasti Umayah mengajak sepertiga penduduknya untuk hijrah dari Jazirah Arab dan Yaman ke negeri-negeri yang subur, yang sudah ditaklukkan. Hasilnya sama saja. Tha’un memakan korban yang jauh lebih besar. Ahmad al-‘Adawi menyebutkan, bahwa dampak lain kepanikan tersebut adalah kesalahan ijtihad fiqhiyah, orientasi ekonomi negara, bangunan sosial, hingga kehidupan politik, termasuk peperangan yang lahir karenanya.

Dari disertasi yang jumlah halamannya tidak lebih dari 250 ini, kita bisa belajar tentang dampak kecerobohan penanganan sebuah penyakit (Tha’un) terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan perang. Jangan sampai, Indonesia yang telah menginisiasi konferensi ASEAN-China di Vietnam tempo hari adalah cermin lain dari sejarah “ketidaktahuan”di bidang sains pada umumnya dan medis pada khususnya.

Memang benar Indonesia percaya pada prestasi China mengatasi Covid-19 dan mengirim tim medis ke Itali untuk membantu korban. Tetapi, sumber-sumber informasi itu harus dikroscek dari sumber-sumber yang pro-Amerika, sebagai musuh bebuyutan China. Sudah banyak publik yang menaruh curiga atas kejujuran China yang mengatakan berhasil menangani pandemi di Wuhan tersebut.

Islam sebagai agama rahmatan lil alamin harus diterjemahkan oleh Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sebagai sikap sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan yang berpijak pada ilmu pengetahuan. Covid-19 memang petaka kemanusiaan, tetapi jangan sampai menjadi petaka kebangsaan dan kenegaraan kita.

Kedekatan pada China harus diupayakan tidak menimbulkan kecemburuan Amerika, apalagi Indonesia di mata Amerika sudah ditetapkan sebagai negara maju, bukan berkembang. Dampak politiknya sangat besar, terlebih bila Indonesia salah ambil posisi dan terlalu dekat pada China dalam hal penanganan Covid-19 ini.

Terakhir, wabah Corona ini begitu serius dan perlu penangagan khusust. Tidak saja dampaknya ekonomi dan tatanan sosial, tapi juga nyawa. Oleh karena itu sudah seharusnya seluruh elemen bangsa duduk bersama. Bersatu demi menyelamatkan nyawa rakyat Indonesia. Maka tidak elok, dalam suasana duka seperti ini, ada pihak-pihak yang menggoreng berita demi elektabilitas politik tertentu, bahkan menjadikan bencana nasional ini sebagai “tumpangan”agenda politik sesaat. Na’udzubillah.

*Penulis adalah Alumni pesantren Lirboyo, Kediri;alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy;Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy;Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies;Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon;Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia);Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.